Langit abu-abu memantul pada danau buatan. Pemandangan menjadi kabur oleh hembusan napas Maya yang membentur jendela mobil. Udara dingin, pintu dan pejaman mata seolah dapat memberikan jarak dan waktu yang ia butuhkan sebelum airmatanya pecah.
Pemakaman sedang lengang, satu-dua orang asing dengan wajah suram berpapasan di pintu keluar. Selangkah demi selangkah, Maya merasa ngilu di hatinya pun semakin menjadi. Tangannya menggenggam buket bunga yang ia beli di tengah perjalanan. Lima bulan dan hatinya masih porak poranda, pelukan hangat milik perempuan itu masih lekat di ingatan, membuatnya menangis semenjak kecelakaan terjadi.
Langkahnya berhenti, senyum sedih muncul ketika Maya menatap foto di hadapannya.
"Halo, sayang..." Salam khas yang selalu diucapkan Maya pada perempuan itu.
Hampa tumbuh tak hanya di dada Maya, sekelilingnya seakan menjadi kedap suara. Maya diam dalam keheningan sampai suara bising di telinga kanannya berkurang. Ia sekali lagi tersenyum, bahkan setelah fisik Rani tak ada, 'mantra' yang selalu dibisikkan Rani untuk menghiburnya saat telinganya bermasalah seolah-olah sedang Rani hembuskan. Dan Maya merasa begitu rindu.
Lengking motor menyeruak di kejauhan, lalu berhenti di area parkir pemakaman. Maya menatap foto Rani kembali untuk berpamitan.
Beberapa meter dari pintu keluar, sesosok perempuan berambut panjang berlari menghindari gerimis. Matanya yang sangat coklat membuat Maya terpesona.
"Seandainya saja Mama dikremasi," suara perempuan itu cenderung berat. Maya bertanya-tanya, sedang bicara dengan siapa dia? "Aku nggak perlu basah untuk sekedar naruh bunga di kuburan Mama." Perempuan itu menyelesaikan kalimatnya sambil menepuk-nepuk bahu bajunya yang basah.
Maya mengernyitkan kening, ia tak merasa kenal dia.
Tiba-tiba perempuan itu bersin, Maya memberikan sapu tangannya yang langsung dia gunakan untuk membersihkan hidung.
"Gawat, aku nggak boleh kena flu setidaknya satu tahun."
Maya hanya diam menatap perempuan itu, tidak tahu harus bereaksi apa. Kernyitannya makin dalam saat dia menyerahkan kembali sapu tangan Maya.
"Buat Mbak saja," Maya menolak halus.
"Terima kasih Mbak...Rani?" Dia membaca nama yang tertera di sapu tangan.
"Maya. Rani itu teman saya yang berada di sana." Maya menunjuk columbarium.
"Berarti ini kenang-kenangan penting buat Mbak, kan?" Perempuan itu bersikeras.
Maya berusaha mengendalikan rasa tidak nyamannya, bukan saja karena kehilangan sapu tangan yang penting, ia harus merelakan sapu tangan Rani untuk orang yang menyebalkan.
Maya menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana jeans, berjalan melewati perempuan yang masih menyodorkan sapu tangan. Jemarinya menemukan permen karet yang masih tersisa dalam kantong, mengunyah sambil memandang hujan yang mendadak menjadi menarik. Lama kemudian, ia masuk ke dalam mobil, meninggalkan pemakaman yang dingin dan lengang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar