the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Selasa, 29 Maret 2016

1: Pada Columbarium

Langit abu-abu memantul pada danau buatan. Pemandangan menjadi kabur oleh hembusan napas Maya yang membentur jendela mobil. Udara dingin, pintu dan pejaman mata seolah dapat memberikan jarak dan waktu yang ia butuhkan sebelum airmatanya pecah.

Pemakaman sedang lengang, satu-dua orang asing dengan wajah suram berpapasan di pintu keluar. Selangkah demi selangkah, Maya merasa ngilu di hatinya pun semakin menjadi. Tangannya menggenggam buket bunga yang ia beli di tengah perjalanan. Lima bulan dan hatinya masih porak poranda, pelukan hangat milik perempuan itu masih lekat di ingatan, membuatnya menangis semenjak kecelakaan terjadi.

Langkahnya berhenti, senyum sedih muncul ketika Maya menatap foto di hadapannya.

"Halo, sayang..." Salam khas yang selalu diucapkan Maya pada perempuan itu.

Hampa tumbuh tak hanya di dada Maya, sekelilingnya seakan menjadi kedap suara. Maya diam dalam keheningan sampai suara bising di telinga kanannya berkurang. Ia sekali lagi tersenyum, bahkan setelah fisik Rani tak ada, 'mantra' yang selalu dibisikkan Rani untuk menghiburnya saat telinganya bermasalah seolah-olah sedang Rani hembuskan. Dan Maya merasa begitu rindu.

Lengking motor menyeruak di kejauhan, lalu berhenti di area parkir pemakaman. Maya menatap foto Rani kembali untuk berpamitan.

Beberapa meter dari pintu keluar, sesosok perempuan berambut panjang berlari menghindari gerimis. Matanya yang sangat coklat membuat Maya terpesona.

"Seandainya saja Mama dikremasi," suara perempuan itu cenderung berat. Maya bertanya-tanya, sedang bicara dengan siapa dia? "Aku nggak perlu basah untuk sekedar naruh bunga di kuburan Mama." Perempuan itu menyelesaikan kalimatnya sambil menepuk-nepuk bahu bajunya yang basah.

Maya mengernyitkan kening, ia tak merasa kenal dia.

Tiba-tiba perempuan itu bersin, Maya memberikan sapu tangannya yang langsung dia gunakan untuk membersihkan hidung.

"Gawat, aku nggak boleh kena flu setidaknya satu tahun."

Maya hanya diam menatap perempuan itu, tidak tahu harus bereaksi apa. Kernyitannya makin dalam saat dia menyerahkan kembali sapu tangan Maya.

"Buat Mbak saja," Maya menolak halus.

"Terima kasih Mbak...Rani?" Dia membaca nama yang tertera di sapu tangan.

"Maya. Rani itu teman saya yang berada di sana." Maya menunjuk columbarium.

"Berarti ini kenang-kenangan penting buat Mbak, kan?" Perempuan itu bersikeras.

Maya berusaha mengendalikan rasa tidak nyamannya, bukan saja karena kehilangan sapu tangan yang penting, ia harus merelakan sapu tangan Rani untuk orang yang menyebalkan.

Maya menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana jeans, berjalan melewati perempuan yang masih menyodorkan sapu tangan. Jemarinya menemukan permen karet yang masih tersisa dalam kantong, mengunyah sambil memandang hujan yang mendadak menjadi menarik. Lama kemudian, ia masuk ke dalam mobil, meninggalkan pemakaman yang dingin dan lengang.

Senin, 28 Maret 2016

Sapardi Djoko Damono

Sejak dulu memang aku suka puisi. Tapi hanya beberapa penulis puisi yang benar-benar menarik perhatianku. Dan anehnya, ada beberapa puisi yang kutulis amat sangat mirip dengan beberapa puisi yang kubaca dari buku. Enggak plagiat, sungguh.

Walau tidak banyak puisi yang kubaca, buku puisi Sapardi Djoko Damono adalah buku wajib beli bila kutemukan di toko buku. Sejauh ini aku punya dua buku puisi saja dari beliau, itupun satunya baru saja kubeli minggu lalu dan masih sepertiganya kubaca. Dulu aku pernah menggandrungi satu buku yang sudah jelek, kusam, protol semua milik sepupuku yaitu kumpulan puisinya Wing Kardjo. Sejak itu aku menyukai gaya puisi yang demikian.

Saat membaca 'Aku Tengah Menantimu' aku seperti tertegun. Tahun lalu aku membaca banyak karya indah seperti novel lesbian klasik Curious Wine dan menemukan puisi ini, di tahun ini aku menemukan diri sendiri dalam posisi yang amat mudah terluka. Dalam hati aku membulatkan tekad untuk membuat tulisan entah cerita pendek atau panjang, menyambut diriku yang baru yang menyadari perih dan indahnya luka (cie...).

2015 merupakan tahun yang berat, 2016 juga. Tahun berikutnya aku tahu takkan ringan menjalani, namun aku bukannya melemah.



Mulai bulan ini aku ingin membuat sebuah cerita bersambung. Semoga bagus hehehe...

Cerita Daun

Dalam pekat malam daun tak pernah
hilang arah di gugurnya
sebagian basah di satu sisi
yang diam diam-diam tenggelam
lainnya bolak-balik
menyisir debu dan tanah


Daun yang tetap tinggal pun
merasakan angin
perihnya bertahan pada cabang yang retak-retak
sebagian dirinya koyak
dikunyah ulat yang seumur hidupnya mengunyah
katanya nantinya jadi indah
yang lihat keindahan tak merasakan radang
dan tulang-tulang yang di makan perlahan

Minggu, 27 Maret 2016

Manga (Komik Jepang): Citrus

Selain Fluttering Feelings (FF), komik yang sedang kuikuti itu Citrus. Kalau FF dari Korea, Citrus ini manga dari Jepang. Bercerita tentang kakak beradik yang punya perasaan terhadap satu sama lain. Aihara Yuzu, sang kakak, pindah dari kota lain saat ibunya menikah dengan ayah dari Aihara Mei. Bertemu Mei pertama kali di sekolah, Yuzu tak menyangka adiknya yang ketua OSIS dan merupakan siswa teladan memiliki sikap buruk yang tak ia tutupi sama sekali di hadapan sang kakak. Terlanjur suka, perlahan Yuzu memenangkan hati adiknya dengan sikap yang blak-blakan, ceroboh dan urakan, serta sifat yang tulus dan mengayomi.

Sebenarnya untuk ukuran cerita, Citrus ini lumayan klise dalam kaca mata pembaca komik Jepang tahunan sepertiku. Tema pseudo-incest (kenapa disebut pseudo-incest ya? Apa karena tidak murni sedarah tapi menjadi saudara karena perkawinan kedua orang tua?) sebenarnya tidak terlalu kusukai karena banyak subtema demikian yang punya cerita nggak jelas, ngumbar nafsu doank, tapi Citrus ini selain gambarnya bagus, karakter tokohnya juga kuat. Selain itu juga aku penasaran dengan cerita ke depannya mereka berdua: 'Mencintai adik sendiri, Yuzu, apa kamu bisa melihat masa depan hubungan cinta kalian?'

Aihara Mei (rambut gelap) dan Aihara Yuzu dalam Citrus

Rabu, 09 Maret 2016

Bekerja dan Status Perkawinan

"He was soon led to understand in subtle ways by men above him that those who blended best into the corporate echelon met certain criteria of conformity. Marriage gave evidence of stability; marital responsibilities created career commitment; married meant normal. Single, on the other hand, meant alienation from the mainstream, potential independence in the workplace. Whatever his professional abilities, a single man was a potential corporate maverick. Single meant not-quite-normal."
- An Emergence of Green by Katherive V. Forrest.

Aku bukan tidak menyadari pentingnya status pernikahan di mata sesama pekerja Indonesia. Ketika mantanku mengatakan hal ini dengan nada sinis karena menganggap aku, yang saat itu masih sekolah, tidak mengerti arti status 'menikah' dan menganggap remeh dilema yang dia rasakan, aku cuma bisa diam dan membiarkannya menganggap aku demikian.

Bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang telah kujelaskan berkali-kali tapi dia tidak mengerti juga?

Kukatakan, bila dia menginginkan banyak hal maka ada kalanya dia mesti memilih. Tidak bisa memiliki segalanya. Jika ingin status, maka jangan memilih aku. Demikian dia masih keukeuh ingin mendapatkan semuanya. Begitu kerasnya dia mewujudkan keinginannya sampai dia tak dapat, atau tak ingin, melihat jejas apa yang dia derakan pada mimpiku.

Kukatakan aku tidak menginginkan segalanya. Aku mengerti bagaimana status dan pertanyaan orientasi seksual menjadi pembicaraan yang dihembus diam-diam tentang orang yang punya posisi penting dalam pekerjaan tapi tak punya pendamping hidup sah. Maka aku tak berambisi dalam bekerja. Tak berambisi bukannya tak berusaha maju, hanya saja aku memberi jarak pada siapapun, agar tak mampu mengusik keteguhanku untuk tak menyakiti hati laki-laki manapun demi status palsu.

Demikian dia tak segan mengorbankan orang lain demi segala yang dia inginkan.

Aku mengagumi ambisi yang dia miliki, sampai tak mampu mengagumi hal yang sama lagi karena ilusi yang tampak telah habis masa tayang. Tujuh tahun dan aku tak sanggup memberikan kebaikan lagi kepadanya yang begitu terpesona dengan segala mimpi miliknya. Ada begitu banyak kenangan manis dan lebih banyak lagi kenangan yang indah dan membuaiku dalam lamunan tentang masa lalu, namun aku mesti memuaskan diri dengan pengertian bahwa yang kurindukan hanyalah kenangan tentangnya. Selamanya aku akan dihantui seluruh waktu yang pernah kami lewati, dan biarlah dia menjadi hantu, menjadi sesuatu yang tak ingin kutemui bentuk dan suaranya.

Aku tidak menginginkan pengertian atau sosoknya kembali. Setelah meninggalkanku tanpa penjelasan di kala aku depresi, lalu melewatkan janji-janji yang pernah dia berikan padaku maka aku mengerti kenyataan bahwa I'm not strong, but strong enough to live without her. Jika seluruh dunia bisa kumiliki mungkin hanya dia yang tak kuinginkan (untuk miliki). I know I love her but it's better to let her go.

Aku tahu suatu hari nanti pasti kutemukan seseorang yang memang untukku. Dalam hati aku berdoa, Tuhan, semoga seseorang itu bukan dia.

Amin.

Selasa, 08 Maret 2016

Mahou Shoujo Madoka Magica the Series dan Movies

Akhirnya kusempatkan nonton anime ini juga. Sebenarnya anime ini sudah kulirik sejak bertahun-tahun lalu karena reviewnya banyak pujian. Tapi aku cuma membiarkan diriku nonton versi film (movie) yang ketiga: Rebellion. Itupun sedikit menyesal, karena ceritanya noir banget.

Madoka (rambut merah muda, dengan Kyubey bergantung di lengan kiri) dan kawan-kawan, serta Homura (rambut hitam)

Sebenarnya ceritanya bagus banget ini Madoka. Tapi karena gambarnya tipe lolicon (lolita complex), dan aku benci banget tokoh anak-anak yang dijadikan peran utama dengan plot penuh dilema dan keputusan yang menyisakan penyesalan, serta adanya makhluk mungil yang tampak sok imut tapi ternyata merupakan sumber segala kekacauan membuatku menelan ludah pahit karena sedikit trauma dengan Magic Knight Rayearth seri pertama. Demikian menjadikanku menunda-nunda menyaksikan anime keren ini sampai seorang teman ngomporin untuk nonton anime ini dari serial TV sampai versi filmnya.

Kyubey, makhluk yang menurutku enggak imut dan patut diwaspadai, tiba-tiba menghantui mimpi Madoka. Ia dikejar-kejar dan disakiti oleh Homura, gadis berambut hitam yang nampaknya berdiri di kubu yang berseberangan dengan Madoka dan kawan-kawan, kemudian Madoka dkk mengikat perjanjian untuk menjadi Mahou Shoujo (Magical Girl) dengan Kyubey.

Serial TVnya sendiri belum selesai kutonton, komentar-komentar yang bertebaran kebanyakan positif tentang anime ini. Lolicon, noir dan artistik serta plot yang baik menjadikan anime ini lebih mudah diikuti daripada Revolutionary Girl Utena yang gambar animenya juga sangat unik. Anime ini punya genre Yuri, terima kasih kepada perasaan Homura kepada Madoka.

Sebenarnya genre Yuri menurutku tidak terlalu kental (menurutku sih, dan ini tentu ditentang sama temanku dan banyak orang lain). Cewek sekolah di Jepang (dan di banyak negara Asia termasuk Indonesia) sering punya rasa antah berantah terhadap temannya, mungkin terlebih lagi terhadap teman dekatnya. Madoka merupakan tipe anak manis yang disukai siapapun, kekuatan besar yang dimilikinya pasti diincar siapapun termasuk makhluk sok imut yang enggak imut sama sekali, dan bisa ditebak hati kecil Madoka pasti tak ingin mengorbankan siapapun. Siapapun kecuali dirinya. Dan Homura seharusnya tidak terlampau peka dan cerdas toh itu demi keselamatan dia sendiri, sayangnya memang dia terlampau peka dan cerdas sehingga memutuskan untuk memboikot semua cerita demi tidak mengorbankan Madoka maka lahirlah film ketiga: Rebellion.

Aku mungkin tidak akan menulis detail resensi/reviewnya, karena aku benci film penuh rasa despair yang melibatkan anak-anak, atau yang berwajah anak-anak deh, dan kemungkinan besar aku bakal nangis bombai setelah nonton semua seri TV dan film Madoka, serta berakhir 'membenci' pengarangnya seperti aku 'membenci' Clamp karena Magic Knight Rayearth. Sayangnya bagiku Madoka terlalu menarik untuk dilewatkan setelah bertahun-tahun enggan melihatnya.

Oke deh, aku akan siap-siap banyak tisu...