Di atas kereta yang membawa cemas dan harapan, aku mencoret tiap nama kota yang telah kulewati yang kutulis dalam kolom. Sepertujuh perjalanan berlalu sudah. Kantuk tak pernah menghampiriku dan kondisi dalam gerbong terlampau dingin. Mungkin karena di bajuku tersisa keringat setelah aku berlari dengan hak setinggi tujuh sentimeter satu blok sebelum stasiun karena jalanan terlampau macet dan jam keberangkatan terlampau dekat. Kolega-kolegaku menyambut di pintu gerbong untuk membantu angkat barang-barangku saat peluit akan ditiup. Adrenalin terjejak dalam butir-butir bening di kening dan punggungku. Sebagian kolegaku yang lain tersenyum menyambut kedatanganku, ada yang tertawa lega.
Tell me one thing more before I go.
Sebelum aku pergi, kekasihku meniupkan mantra dalam telingaku di sela-sela kami bercinta. Seperti deja vu tentang (mantan) kekasihku sebelas tahun lalu sebelum aku pergi dengan kereta untuk kota yang sama. Tiga kata yang (mestinya) ditukar oleh sepasang kekasih.
Tapi aku pamit tanpa sepatah kata. Aku sudah mendengarnya bermantra seribu malam lamanya, aku ingin ribuan malam sesudahnya. Dalam kereta hatiku meradang rindu, radang yang tak bisa didinginkan dengan berton-ton besi sedingin apapun. Kilometer-kilometer yang menjauhkanku dengan kekasihku dengan kekuatan yang menggetarkan pijakan kaki seolah mengingatkanku pada mimpi tanpa pondasi kenyataan.
Apa yang bisa kulakukan untuk membuat cinta kita selamanya, perempuanku?
Kemudian aku terbatuk. Dengan curiga kuintip telapakku dan terkejut. Melainkan kembang yang kulihat. Aku terbatuk lagi dan kelopak-kelopak bunga gugur.
Oranthoptysis. The spitting flowers illness.*
Aku menghela napas yang tak sengaja kutahan. Telepon selulerku bergetar dan sampai satu pesan menginginkan perpisahan. Airmata luluh di keheningan yang tiba-tiba, meski sebelumnya suara kereta memekakkan telinga.
Sebelum aku pergi dia masih kekasihku...
NB: *dirujuk dari Kaga's Flower Illness milik Nekomura

Tidak ada komentar:
Posting Komentar