the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Selasa, 29 November 2016

7: Pada Akhir Pekan

Rabu merupakan hari Maya memberi kuliah.

Ia memulai hari dengan dosis teh hijau yang telah kembali normal, sebanyak saat ia bersama Rani dulu. Seperti biasa, ia datang pagi, menilai tugas mahasiswanya dan memeriksa kembali materi kuliah paginya.

Tiba-tiba telepon seluler Maya bebunyi.

Surat elektronik dari Dani berisi undangan untuk akhir pekan ini. Ia bilang Dian ikut, itu membuat Maya tersenyum.


----x----


Maya tiba lebih dini, Dani belum sampai rumah. Tapi Dian dan Luh sudah di depannya.

“Halo, mbak May. Kecepetan ya? Dani belum pulang,” Dian tersenyum padanya. Maya menyerahkan buah yang di bawanya. “Masuk aja, mbak. Luh mau bikin scone, itu camilan spesialisnya. Mungkin mbak May mau minta resep rahasianya.”

“Halo, mbak May. Masih ingat aku?” Sapa Luh dengan nada riang.

“Tentu saja. Herannya saya tidak ingat orang ini sama sekali,” Maya menunjuk Dian.

“Ah, anak bandel ini,” Luh menowel pipi Dian. “Dia jarang datang ke sekolah. Saat dia tertular virus ‘sekolah itu asyik pake banget’ dariku, dia mengalami kecelakaan yang bikin dia harus mengulang kelas.”

“Sayang sekali…,” Maya terkejut mendengar informasi itu.

“Sudah tidak apa-apa. Masa lalu.”

“Malah itu bikin kami jadi satu kelas,” Luh berkata sambil menyiapkan bahan untuk scone favorit Dian. “Ayo, Yan, bantu aku. Sudah bolak-balik kuajari cara bikin scone ini. Kalau lagi libur dari rumah sakit mestinya kamu belajar membuat camilanmu sendiri.”

“Aku nggak berbakat masak.”

“Nggak butuh bakat. Ya kalau nggak belajar mana bisa.”

“Aku cuma punya perut untuk menampung masakanmu, Luh. Mbak May, cobain deh kue-kue di toples. Di meja sana juga ada salad, sambil nunggu Dani datang mungkin mbak May mau ngemil.”

“Oke,” Maya mengambil kue dan terkejut saat lidahnya mulai merasakannya.

“Tuh, lihat reaksi mbak May, Luh, dia jatuh cinta sama camilanmu.”

Luh terkekeh dengan komentar Dian.

“Enak ‘kan, mbak?”

“Emmm…rasanya…rasanya pas,” May tidak yakin harus berkomentar apa.

Dian dan Luh tertawa oleh komentar Maya.

“Oke, oke. Dian, berhenti tertawa dan cepat bantu aku.”

“Ayooo masak. Aku ngomong bahan-bahannya ya, supaya kayak demo masak di televisi,” Dian melihat ke arah tangan Luh yang sibuk menyendok mentega, “Oke, itu…emmm…masukkan beberapa bundaran besar—yang kau buat dengan sendok—mentega ke dalam… Luh, kamu enggak menakar itu lebih dulu?”

Kedua tangan Luh tetap bekerja dan Dian makin kebingungan.

“Oke, itu bilangnya ukuran apa? Tiga sendok teh yang sedikit tumpah-tumpah?”

Maya terkekeh lembut pada komentar Dian. “Aduh duh. Dian versus Luh alias Nona Superchef.”

“Lihat mukanya yang melas itu, mbak May,” sambil bicara, tangan Luh belum berhenti bekerja.

Maya memperhatikan Dian yang mengekor gerakan Luh. Ia sendiri sedang membuat teh, keahliannya. Akhirnya, mereka menunggu scone matang.

“Heeei, kok sudah matang semua?” Dani masuk ke dalam ruang makan yang jadi satu dengan dapur bersama dengan Shiva, rekan kerja sekaligus kekasihnya.

“Syukurlah kamu sudah pulang. Aku lapar sekali,” ujar Dian setengah menjerit lega.

“Lho, Yan, kamu kan belum masak. Ini tadi masakanku semua. Khusus kamu, kamu harus masak sendiri kalau mau makan,” goda Luh.

Dian merengut pada Luh.


----x----


Maya pulang ke rumah dini hari, setelah menghabiskan Sabtu malam di kediaman Dian dan Dani. Merasa gerah, Maya menyegarkan diri di bawah semprotan air yang lembut. Tak lama kemudian ia sudah berada di kamar tidurnya untuk mengangkat telepon genggamnya yang berdering.



“Maya? Ayah Bilqis meninggal. Kamu enggak bantu-bantu ke rumahnya? Kami baru bisa pulang besok, penerbangan pertama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar