the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Kamis, 13 Oktober 2016

The Beauty of 1950’s: A Vintage Two Girls in Love Adventure (Ulasan Film Carol)

Every little pieces of love, of love,
I'll give you everything*

“She’s young. Tell me you know what you’re doing.”

Demikian yang dikatakan oleh Abby, teman sekaligus mantan Carol, saat (keduanya?) merokok dan membicarakan rencana perjalanan yang akan Carol lakukan dengan keinginan mengajak Therese bersamanya.

Adaptasi dari novel The Price of Salt (ditulis oleh Patricia Highsmith dengan menggunakan nama pena Claire Morgan), yang tahun 1990an judulnya menjadi Carol, ditulis oleh Phyllis Nagy (screenplay) dan disutradarai oleh Todd Haynes. Elizabeth Karlsen (produser) menunggu bertahun-tahun untuk mendapat hak demi mengangkat buku ini ke dalam layar kaca dan membujuk Nagy, dan aku sungguh berterima kasih atas kesabaran itu sehingga film yang begitu indah tercipta (dan mewarnai pelangi hidupku).

Enam nominasi Oscar disabet, sinematografinya membuatku seperti kanak-kanak yang terpesona dengan setiap pigora yang disajikan, selain karena latar waktu film adalah zaman bapakku (yang dulu aku sering menghabiskan waktu nonton MGM bersama bapak film Audrey Hepburn Love in the Afternoon tak peduli berapa kalipun film itu diputar), akting para pemerannya pun membuatku sangat hanyut dalam cerita meski aku bukan tipe pecinta drama.

Film ini sangat perempuan dan didukung oleh dua aktris dengan akting luar biasa yang membuatku sangat menikmati film ini, bahkan intonasi suaranya membuatku membeli sound system yang baik demi mendengar tiap dialognya dengan teliti. Rooney Mara seperti cermin perempuan yang jatuh cinta pada perempuan lain yang jauh lebih tua, atau yang telah menikah (dan mempunyai anak). Kate Blanchett dengan senyum anggun dan ‘aku punya rahasia’ yang sangat memikat tentang perempuan separuh baya (walau dalam buku Carol digambarkan sebagai perempuan usia awal tiga puluh, seperti usiaku dan aku tidak punya bahasa tubuh maupun daya tarik ‘older woman’ milik Carol -sigh) juga membuatku tak bisa tidak melihat film ini berulang-ulang.

You make me weak, girl you stand out from the crowd,
You are so strong never let life get you down
I can't go on, pretending I don't see
Just how good I'd be for you
And how good you'd be for me*

Therese dan Carol bertemu kali pertama dan langsung saling jatuh cinta. Carol tengah mencari hadiah natal untuk putrinya sedang Therese pramuniaga yang melayaninya. Carol sengaja meninggalkan sarung tangannya di counter Therese dengan harapan ada tindak lanjut pertemuan (dalam buku diceritakan bahwa Therese mengirimkan kartu ucapan selamat natal secara spontan ke Carol yang kemudian terjadi tindak lanjut). Dan itulah yang terjadi.



Therese (atas) dan Carol pada pandangan pertama

Di tengah perseteruan atas hak asuh anak dengan suaminya, Carol memutuskan melakukan perjalanan, sebagai pelarian, dengan mengajak Therese. Bunga cinta musim dingin tumbuh subur di antara keduanya.


And it doesn't matter how hard I try,
I can't suppress this feeling, this feeling inside
I think I'm falling*

Sebenarnya aku tak bisa menyalahkan sikap frustrasi Harge, Carol sangat yummy, melihat perempuan yang kau cintai jatuh cinta sama orang lain itu tidak mudah (dan ini menjadi satu alasan kenapa aku merasa film ini tak punya antagonis, atau malah kedua perempuan tokoh utama inilah tokoh antagonisnya).

Perbedaan kedua karakter dalam menyikapi jatuh cinta pun menjadi poin krusial yang menyokong cerita. Keduanya punya masa kini yang harus dilepas bila ingin bersama, satu tak ragu-ragu meninggalkan seluruh yang dia miliki, satu lagi memiliki terlalu banyak hal dan pertimbangan untuk satu hidup baru.

Cuka menilai plot film ini terlalu lambat dan membosankan. Menurutku pas, malah adegan Therese patah hati ditinggal Carol itu terlalu cepat, dan tidak membosankan karena sangat mengaduk emosi sehingga alur tak bisa dibuat maju cepat. Perbedaan usia kedua tokoh malah jadi kekuatan dalam film ini, aku suka bahasa tubuh Carol dalam menenangkan Therese. Aku suka bahasa tubuh Therese dalam usaha menenangkan dirinya sendiri.

Latar musik tidak mendayu-dayu atau mengagetkan seperti kebanyakan film tahun limapuluhan, tapi mungkin karena ini adalah film modern yang diramu untuk menyesuaikan novel sehingga penataan musik dilakukan dengan teknologi terkini.

Yang paling kusukai dari tahun empatpuluh-limapuluhan adalah orang-orang yang berpakaian dan berambut rapi. Pembawaan diri yang anggun, gambaran karakter yang punya sifat berpikir dulu sebelum beraksi, mobil antik, sepeda pancal, foto-foto, dan banyak hal yang mengingatkanku pada bapak. Bapakku orang kelahiran empat puluh.

Meskipun warna-warni dalam film ini terlihat suram dan kusam, namun akhir cerita yang bahagia -entah keduanya akhirnya bersama selamanya atau tidak, yang penting keduanya diisyaratkan memiliki masa depan bersama berdua- tidak biasa untuk ukuran cerita romansa lesbian di tahun limapuluhan, dan berdasawarsa-dasawarsa kemudian (mungkin sampai Curious Wine milik Katherine V. Forrest atau Annie On My Mind yang ditulis Nancy Garden), yang kebanyakan tidak berakhir bahagia.

Parodi film Carol pada penghargaan Independent Spirit.

Dirilis tahun 2015, film ini merupakan film drama lesbian favoritku di tahun itu. Dan sepertinya tahun ini masih sama menjadi favorit.

Adegan favorit: saat Therese (yang penampilannya Audrey Hepburn banget) memainkan piano dan Carol berjuang dengan kontrol dirinya. Aku suka tangannya Rooney Mara, aku fetish tangan. Dan aku suka perempuan dengan kontrol diri yang baik. I'm in love with Therese!

Sometimes in life, you can search forever more,
Searching for love, never able to be sure
Be sure your heart won't be broken up inside,
'Cause inside the realm of love
There's nowhere to run or hide*

*Lagu yang dipopulerkan Ant & Dec dengan judul Falling

Tidak ada komentar:

Posting Komentar