Maya mendengar suara angin yang bertiup. Beberapa orang menggunakan pakaian hitam, yang lain putih. Prosesi masih berlangsung, tapi pikiran Maya melayang jauh dari pemakaman yang terasa damai walau penuh kesedihan. Langit terpaku diam.
Maya ingat jalanan pemakaman. Ia sudah hapal betul karena berkali-kali mengunjungi tempat ini. Sesepoi angin meniup lilin, gerimis lembut jatuh dari dedaunan pohon. Maya ingat tiap detilnya. Maya menggigil bukan karena bajunya yang tipis atau airmata. Ia tahu rasanya kehilangan orang tercinta tapi tidak bisa ikut menangis, airmatanya sudah lama kering.
Gerakan tiba-tiba dari obyek yang sedang ia tatap membuat Maya kembali ke kenyataan. Dian. Ia sulit mengingat kapan ia menjadi sangat sadar akan tiap gerakan Dian. Apakah Dian selalu datang ke acara pemakaman pasiennya? Ia berharap tahu jawabannya. Ia berharap bisa menyanyakan hal itu. Ia berharap bisa banyak bicara dengan Dian, tapi tidak sekarang.
Sedih melihat mata Anita yang memerah. Dari semua orang, Anita merupakan favorit ayah Bilqis. Maya mencuri pandang ke Bilqis, auranya begitu tenang. Tidak ada jejak airmata di matanya, kontrol dirinya sangat baik, seperti Maya.
Maya melihat Dian berjalan menepi, dia menjawab telepon. Ada kerutan di antara kedua alisnya, mungkin si rambut Bob sedang meneleponnya. Tapi Maya salah. Si rambut Bob itu sedang berdiri di antara orang yang mengamati prosesi pemakaman, tepat di belakangnya, di sebelah Elvina.
“Maaf aku terlambat,” kata si rambut Bob dengan berbisik.
“Baru mulai, kok,” Elvina balas berbisik. “Gimana pasienmu?”
“Fraktur costae-nya enggak diapa-apain. Tapi Yudha harus melakukan drainase untuk abses psoas-nya. Adam enggak setuju karena pasien itu three vessel.”
“Waduh, aku setuju sama Adam.”
“Iya. Kita konsul ke Nana. Kata Nana pasiennya terlalu tua, dia takut dengan elastisitas kapilernya jika dilakukan prosedur stenting. Jalan buntu. Tapi Nana akan melakukan pendekatan lain.”
“Kami akan diskusikan pada laporan sore.”
“Hei, cantik,” Dian menggoda rekan-rekannya.
“Romeo, jalan yuk setelah prosesi…” Si rambut Bob memegang lengan Dian yang disebutnya Romeo.
“Boleh asalkan nggak ada palang kereta api untuk dilintasi,” Dian menekankan suara pada palang kereta api untuk dilintasi.
“Kenapa emangnya dengan palang kereta api?” Tanya Elvina.
“Ada pasien trauma multipel, ketabrak kereta. Kereta api! Bayangkan! Dia muntah, nyemprot lebih tepatnya, darah banyak sekali sampai lantai ruang resusitasi ketutup muntahannya semua, salah satunya kena jas putih Dian. Tebak reaksi Dian apa?”
“Diem kamu, Juliet,” Dian menghardik Winda, si rambut Bob.
“Reaksinya apa?” Tanya Elvina penasaran.
“Dia ikutan muntah di sebelah pasien itu,” Winda menahan kekehannya.
“Itu salahmu. Aku baru saja selesai makan siang porsi besar saat kamu menarikku ikut ke ruang resusitasi,” Dian cemberut.
“Weleeeh… Tuan puteri dengan profesi apapun tetap tuan puteri,” Elvina berkata dengan nada penuh canda.
“Aku bukan tuan puteri!” Muka Dian memerah.
“Bukaaan…cuman anak perempuan yang terlalu dimanjakan orang tuanya,” tanggap Winda.
“Orang tua yang kaya,” Elvina mengangguk.
Maya mengagumi kemampuan mereka untuk tetap ceria di tengah prosesi yang penuh duka. Ia mencuri pandang kembali pada Bilqis saat orang-orang mulai menyalami atau memeluknya. Maya ingat bagaimana rasanya. Orang-orang meremas bahunya begitu sering di pemakaman Rani, ia bisa pecah oleh banyaknya remasan yang ia peroleh.
Seseorang melangkah ke samping Maya. Dian. Maya mengangguk mengenalinya.
“Mbak, mukamu pucat banget,” Dian memegang lengan Maya.
“Sa…saya tidak apa-apa.”
“Nggak pa-pa gimana, yuk cari tempat duduk.”
Maya mematuhi Dian. Dian menyodorkan sebotol teh manis.
“Saya lebih suka yang kadar gulanya rendah,” gumam maya sambil tersenyum kecil.
“Omong kosong. Mbak butuh banyak gula sekarang.”
“Ada apa ini?” Si rambut Bob mendekati mereka.
“Perubahan rencana, Win, aku mau anter Mbak May pulang,” Dian melepas jaketnya dan meletakkannya pada bahu Maya.
“Saya nggak pa-pa. Saya kuat nyetir sendiri.”
“Nggak boleh, Mbak. Yuk pamitan.”
——x——
"Waduh!"
“Kenapa, Yan?" Tanya Maya saat mereka masuk mobilnya.
“Aku bisanya pakai mobil matic, Mbak.”
Maya tersenyum, matanya terpejam, kepalanya bergeleng-geleng.
“Tenang aja, dulu latihan mobil juga pake manual, Mbak,” ujar Dian penuh percaya diri.
——x——
Maya hampir lupa bagaimana rasanya pulang dengan hati berdebar gembira, seperti ia lupa kapan terakhir ia menerima tamu.
Ia mencuri pandang pada Dian yang sedang duduk di ruang tamu. Rambutnya panjang dan hitam legam, kontras dengan ruangan dan pakaiannya yang serba putih. Dia duduk dan menonton televisi, kadang tertawa berderai-derai melihat iklan konyol.
Dia mematikan televisi saat Maya membawakannya minum. Maya menatap Dian dengan tatapan lucu, terkesan dengan kesenangan Dian yang aneh.
“Mbak seharusnya bobok di kamar,” Dian membuat gestur seakan-akan berpamitan.
Maya menarik lengan Dian, “Kan saya sudah bilang kalau saya baik-baik saja,” disodorkannya minuman itu ke tangan Dian, “Rumah ini kangen sama kehadiran tamu.”
“Sudah setahun, Mbak. Pasti ada laki-laki yang tertarik sama Mbak May.”
“Perempuan,” ralat Maya.
“Perempuan,” Dian mengulang.
“Bisakah Dian mencari pengganti cinta sejatinya?” Maya melirik ke wajah Rani yang membeku dalam pigora di atas meja di bawah televisi
Bibir Dian menarik sebelah, membentuk lesung pipi yang membuat wajahnya lebih cantik lagi. “Enggak tahu, Mbak, aku belum nemu cinta sejati ‘kali. Tapi, ya, mungkin cinta sejati harus seperti itu,” dia menjawab pertanyaan Maya dengan jeda agak lama.
“Seharusnya memang seperti itu.”
“Untuk sebagian kecil dari kita.”
Maya tersenyum sedih, setuju dengan komentar Dian. Diam-diam mengkhianati pernyataannya sendiri. Ia ingin sekali, seseorang memeluknya semalaman. Malam ini adalah malam di mana ia menyadari bahwa waktunya terbatas. Bahwa jatuh cinta itu seperti meteor di langit malam, jatuh dan terbakar sekali dan sebentar seperti kembang api lalu selamanya lenyap atau tergantikan meteor lain. Banyak orang mengejar musim kembang api dalam hidupnya, tak pernah puas.
Maya tersenyum pada diri sendiri. Ia mengontrol dengan baik musim kembang apinya. Meteor yang memecah permukaan air akan menimbulkan gelombang. Walau saat ini perasaannya bagai terombang-ambing dalam gerakan yang memabukkan, arus boleh berubah-ubah, barang kali bahkan ia sekarang berada pada samudera yang berbeda dengan jatuhan meteor yang berbeda tapi ia yakin akan berhasil meredam dan mengarunginya, seperti badai-badai sebelumnya. Ia akan mengontrolnya dengan baik.
Ia terjaga di atas tempat tidurnya malam itu. Ia namakan bintang jatuhnya Dian Priyanti Baskoro.
NB: mengambil percakapan dari buku tentang cinta sejati (karena aku tidak percaya cinta sejati itu ada). Percakapannya terdengar manis, sih.










































