the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Senin, 06 Maret 2017

The Night Before I Go

Hujan bertebaran di atas payung kami malam itu sebelum kami tiba di hunian.

"Menurutku semua itu tergantung dari di mana fase kita hidup. Saat masih sekolah, mengorbankan cinta sah-sah saja. Atau untuk keluarga," ujarnya dengan logika yang membuatku menelan ludah sendiri.

Jauh di dasar hatiku, diksi yang dia pilih membuatku terluka.

Keluarga? Siapakah baginya keluarga itu?

Setahun menantinya. Tujuh tahun bersama. Hanya kepalaku semakin menunduk menyembunyikan airmata.

You must go and I must let go

Sia-sia mengharapkannya mengerti. Napasku kian pendek sebab dalam ruangan dengannya dia sediakan sedikit nitrogen, karena dia percaya manusia seperti aku hanya menghirup oksigen. Sikap cinta itu membuat paruku digerogoti penyakit. Kesadaranku menurun hingga aku tak sanggup menggerakkan bibir untuk membalas ucapan cintanya. Namun dia begitu kuinginkan hingga apapun akan kutempuhi.

Apakah aku akan senantiasa menjawab kritisi ini seorang diri? Sebab kuajukan berkali-kali dan dia hanya tertawa, seolah berapa lamapun aku bersamanya aku takkan pernah menjadi bagian yang dia sebut sebagai keluarga. Apakah diam dapat memanjangkan umur kebersamaan kami? Mengapa aku merasa seolah aku hanya satu benang merah yang dapat dia tanggalkan sewaktu-waktu?

Sewaktu-waktu dia harus memilih antara cinta atau keluarga.

Sewaktu-waktu seperti keesokan hari, saat aku dipindahtugaskan di luar kota kami sekarang bersamaan dengan sekelompok kolega.

"Kita masih muda. Kita masih punya waktu bersama lagi," pungkas pesannya yang kubaca di atas kereta. Logika yang membuatku mengecap getir airmata. Seolah dia bisa memahami seluruh keping hidup dan hatiku hanya dengan tujuh tahun bersama tanpa mengerti diriku dengan baik.

Seolah paru seluruh manusia berhenti bekerja di atas usia lima puluh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar