A desert runner
Pada haru yang makin biru aku pulang padamu, Bapak. Berkaca pada sekeping rindu yang sisa di hati sementara keping lain tak lagi bisa kupunguti. Di sana aku bisa puas menangis dan meratap. Dan meremukkan hatiku kembali hingga berkali-kali. Kemudian aku menjadi juru kemudi lagi yang mesti meletakkan logika di atas emosi.
Bapak, aku tak lagi bersauh. Kita pernah bicara tentang betapa menakutkannya terombang-ambing sendiri di lautan luas tanpa petunjuk. "Bersikap lembutlah dan jangan pernah melupakan doa," ujarmu kala itu. Berpikir kuatirlah tapi jangan lupa bahwa harapan itu ada. Ambil keputusan dengan tegas tanpa melunturkan kebijaksanaan. Bapak, bagaimana menjadi orang yang engkau inginkan aku menjadi?
Aku pulang dengan setumpuk masalah yang ingin kubicarakan. Aku tahu dengan mengingat senyummu saja aku dapat dengan sabar mengurai satu demi satu benang kusut, tapi merasakan telapak kakiku menyentuh tanah yang rahimnya memeluk tubuhmu memberiku kedekatan yang aku sendiri tak bisa mengerti. Kuderaikan airmata dalam monolog bisu. Dalam sunyi yang sekali lagi meremukkan hati aku menyesap makna hadirmu dalam hidup. Dan kini ketiadaanmu. Biar kurayakan seluruh hidupmu di setiap kepulanganku, akan kuceritakan tentang samudera yang telah kuarungi.
Mengingat cintaku tak lagi bisa menyentuhmu, bagaimana aku bisa lebih biru dari ini (untuk cinta yang lain)?
Maka dalam musik batin aku menari di atas pusaramu. Betapa sulitnya kita berpisah namun lebih sulit lagi untuk bersatu kembali. Kutumpuk kerikil demi kerikil di antara dua nisanmu dan perlahan aku mencerna pilu tentang detail kepergianmu, supaya aku ingat untuk mempersiapkan diri dan berupaya memperbaiki diri.
Bapak, aku masih rindu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar