Aku selalu merasa film Asia itu aneh. Jalan ceritanya, horornya, filosofinya. Tapi beberapa film sangat mengasyikkan untuk dikelupas tentang apa. Atau dianalogikan dengan apa.
Barangkali karena genre Shoujo-Ai/Yuri aku jadi melirik anime ini, baik serialnya maupun film. Saat itu (sampai saat inipun ;p) aku masih lumayan bingung dengan ceritanya (maksud dari gambaran ini-itu dalam Adolescence of Utena).
Tapi yang membuat seri dan film ini membekas adalah temanya yang sangat queer. Terutama filmnya. Mengapa seperti itu? Harus nonton sendiri ;p tapi kalau ingin membaca ulasan ini yang kebanyakan adalah pendapatku yang super ngarang, bolehlah.
Utena (rambut pink) dan Anthy.
Kalau filosofi dari seri Shoujo Kakumei Utena adalah perjalanan seseorang (Himemiya Anthy) dalam mencari keutuhan jati diri di mana Anthy digambarkan sangat egois dan Utena sangat platonik, dalam Adolescence of Utena keduanya digambarkan sebagai keseimbangan yang lebih logis dalam pencarian jati diri Anthy.
Shoujo Kakumei Utena dalam Bahasa Inggris berarti Revolutionary Girl Utena. Bukankah berarti tokoh utamanya Utena? Menurutku tidak. Himemiya Anthy adalah tokoh utama dalam seri dan film ini. Utena datang sebagai 'kendaraan' Anthy menemukan dirinya sendiri. Utena yang merevolusi Anthy menjadi sosok baru terlepas dari seluruh tragedi yang entah sangkut pautnya apa bagi kedua tokoh utama ini (karena diubah seperti apapun masa lalu keduanya, tetap saja menghasilkan Utena dan Anthy yang sama. Seri dan filmnya seolah suatu alternative universe).
Adolescence of Utena dibuka dengan adegan Utena yang menjadi siswa baru yang diajak berkeliling sekolah barunya oleh Wakaba, murid lain yang kemungkinan ditunjuk untuk mendampingi Utena orientasi hari itu. Di tengah perkenalan, Utena melihat mantan kekasihnya, cowok cantik berambut panjang dan merah.
Nggak perlu pusing mikir makna banyak adegan fairy tale di tengah-tengah asiknya nonton film ini, pokoknya si Utena tiba-tiba aja dapat cincin yang artinya dia seorang petarung yang memperebutkan janda kembang (bukan istilah sebenarnya dalam film ini, aku cuma malas aja mengartikan dan mengira-ngira maksudnya, jadi kusebut saja janda kembang) alias Himemiya Anthy. Di hari pertamanya itu Utena sudah harus bertarung dengan Saikoji (atau Saionji? Pokoknya si cowok rambut panjang berwarna hijau, BTW ini guru BPnya pada ke mana ya kok siswanya gondrong-gondrong?) dan menang lalu mendapatkan si janda kembang.
Tentu si Utena heran, kenapa orang memperebutkan si Anthy (tidak usah pusing sama adegan nanya-nanyanya si Utena kok di ranjang kayak nggak ada tempat lain yang lebih logis), namun tak mendapat jawaban dari Anthy.
Esoknya, saat membersihkan kolam renang, si Anthy dan Utena sama-sama kena cipratan air. Si mantan Utena yang berambut panjang dan merah itu menghampiri Anthy dan menghapus air dari wajah Anthy dengan sapu tangannya, sedangkan si Utena dicuekin. Malamnya, Utena mengkonfrontasikan hal itu pada Anthy. Anthy menenangkan Utena dengan berdansa-dansa di taman langit (sumpah aneh abis, tapi keren sih).
Esoknya (entah jeda berapa hari atau berapa minggu, mungkin bulan, atau setengah tahun), Anthy dan Utena jadi partner kelas menggambar, di mana mereka harus menggambar inti satu sama lain. Saat mengerjakan tugas itulah Utena mengerti mengapa orang-orang memperebutkan Anthy (tapi aku masih enggak ngerti, maafkan aku yang enggak paham sama sekali tentang filsafat atau filosofi). Tokoh lain saat itu sedang digodok untuk membangun alasan menantang Utena di pertarungan kedua.
Utena yang sudah mengerti harga dari hadiah pertarungan, berusaha mati-matian mempertahankan kemenangannya di pertarungan melawan 'sang pangeran'. 'Sang pangeran' sendiri adalah julukan siswi senior yang merupakan ketua OSIS di sekolah Utena. Julukan itu dikarenakan ia mendapat kutukan dari perempuan (yang menghasutnya untuk bertarung dengan Utena) yang kehilangan nyawa lelaki yang dicintainya karena menolong 'sang pangeran' yang tenggelam.
Hematku, yang membuat Utena selalu dapat memenangkan pertarungan adalah alasan di balik keinginannya untuk bertarung. Sementara yang lain bertarung untuk mewujudkan mimpi mereka masing-masing, Utena bertarung untuk kebebasan Anthy. Pada seri TVnya, Utena berakhir ditikam sendiri oleh Anthy, hal ini dikarenakan Utena sudah mulai menjadi dominan bagi Anthy di mana dominan ini merupakan karakteristik maskulin yang bertolak belakang dengan femininitas Anthy (terus terang aku enggak paham penjelasan ini, tapi sudahlah mari kita telan mentah-mentah). Aku lebih suka untuk menganalogikan Adolescence of Utena setara dengan lagu Let It Go yang populer dalam film Frozen dan telah beberapa dekade lebih awal mengusung isu: melela.
Sejak awal jumpa Utena, gambarannya yang tinggi, gaya rambut cowok, warna pink, pilihan baju yang maskulin, pemberontak, tentu sudah membuat mataku enak ngelihat ini film (dibanding seriat TVnya yang berambut panjang). Bukan hanya kontras warna rambut dan panjangnya, Anthy digambarkan memiliki kulit coklat, tubuh mungil, rambut ungu dan panjang, serta kepribadian yang penurut dan menyenangkan (walau bagiku dia kayak cewek murah sih, maaf ya Anthy). Lalu gambaran laki-laki dalam film ini yang antara super cool, super hansamu dan super cantik nggak bisa kubedakan, tentu menggelitik gaydar-gaydar yang tumpul sekalipun.
Dengan analogi melela, Adolescence of Utena diawali dengan perkenalan dengan sesama perempuan, diikuti dengan kebingungan antara ketidaksinkronan perasaan di masa lalu (mencintai laki-laki) dan masa sekarang (mencintai perempuan) dan penolakan lingkungan, dan diakhiri dengan 'jalan baru yang antah-berantah' yang akan dilalui berdua. Adolescence of Utena mengajarkan kita untuk berani mendobrak batas-batas dalam diri sendiri dan enggan untuk hidup sebagai 'mayat hidup di dunia buatan orang lain'.
Nggak bijak nonton film ini pas lagi kerja di kantor, saudari-saudari.
Menontonnya di usiaku sekarang tentu sudah terjadi perubahan dalam menerima film ini kembali. Tema 'us against the world' sudah terasa membosankan bagiku di dunia yang penuh persekusi lesbian (dan queer). Tapi saat membandingkannya dengan San Junipero (salah satu episode dalam Black Mirror) ternyata tingkat kepuasan positifku (yang diukur dari mood yang bagus banget setelah nonton suatu film/serial TV) tak mengalami perbedaan yang signifikan. Terlepas dari materi-materi sureal dan negeri dongeng yang bertebaran dalam film ini, menggondol Best Film Japanese Release di tahun 2000 untuk Adolescence of Utena memanglah bukan kemenangan yang salah.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar