the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Rabu, 01 Februari 2017

Ulasan Pendek Film Sin City (2005)

Bukan, ini bukan tentang film lesbian. Pertama kali Sin City menggodaku adalah dari fanfiksi. Aku membaca satu dari fanfiksi anime, di mana sang pengarang memberi judul A Dame to Kill For. Tentu ini langsung mengingatkanku pada penerbit komik Dark Horse, mengingat Frank Miller adalah kontributornya, yang salah satu bukunya dijual di Big Bad Wolf Surabaya beberapa bulan lalu (dan aku menyesaaal sekali tidak membelinya walau saat itu aku sangat tertarik).

Sin City benar-benar jelmaan komik ke dalam film. Neo-noir, satir, ironi, twisted, komikal, warna-warna unik, dan berakhir tidak bahagia baik buat si jahat maupun si baik. Tidak ada yang benar-benar putih atau hitam dalam setiap karakter, tapi seluruhnya 'sakit'. Padahal aku sempat komplain (positif) saat membaca fanfiksi yang kumaksud di atas, bahwa ini fanfiksi walau punya latar belakang yang baik ia mempunyai akhir yang sedikit menyebalkan (saat tokoh utamanya kehilangan fungsi saraf, karena disiksa oleh penjahat yang terobsesi dengan kekasihnya, yang membuat lengannya tidak berfungsi). Kusadari ternyata, cerita itu cukup adekuat untuk masuk dalam cerita pendek Sin City, ia yang paling punya cerita akhir yang bahagia.

Lucille dan Marv dalam the Hard Goodbye

Ada empat cerita pendek dalam antalogi kriminal Basin City; That Yellow Bastard, the Customer is Always Right, the Hard Goodbye dan the Big fat Kill.

Yang paling unik dari film ini tentu warna. Permainan cantik untuk mengurangi ketidaknyamanan penonton dalam kekerasan yang hadir di setiap menit film ini membuatku malah tak bisa lepas dari layar. Padahal aku tidak menyukai film slasher yang banyak adegan kekerasannya (film Korea The Old Boy adalah film yang membuatku trauma dengan film-film jenis ini karena kemudian aku merasa agak nyesel udah ngelihat tapi bakalan nyesel kalau enggak lihat mengingat film Korea ini baguuus dan sangat bisa dimasukkan dalam satu cerita pendek Sin City), aku tidak sekalipun mengalihkan pandangan pada adegan setidaknyaman apapun karena takut melewatkan sesuatu.

Karena sangat komikal, film ini berlebihan. Contohnya infus yang diberikan pada tokoh utama, bercak darah yang mendadak hilang atau tidak ada bekas luka maupun genangan darah saat seseorang ditembak brutal atau cepatnya sang tokoh pulih oleh tembakan demi tembakan tapi di pihak lain sang tokoh sangat menderita dengan Angina Pectoris. Sehingga editan-editan film sulit kunikmati. Film yang disyuting dalam digital backlot ini benar-benar seperti menikmati satu komik.

Ada adegan yang sebenarnya ngeri tapi aku terpikat dengan mata Elijah Wood (dari dulu memang aku suka Mr. Wood) saat dia akan dimakan oleh anjing peliharaannya sendiri. Kemudian suara-suara laki-laki yang rendah, favoritku, membuat film ini seperti Batman. Dan juga ada tokoh pendukung, Lucille, yang digambarkan sebagai tante seksi dan lesbian yang sayangnya nasibnya juga berakhir tragis dalam the Hard Goodbye.

Dan, by the way, sekuel SinCity: A Dame to Kill For (2014) was not as smart as the first one. Terlalu banyak 'bicara'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar