Jadi Bulan Cinta ini kuhabiskan dengan membaca novel-novel erotis paranormal/vampir/vampir-cinta-serigala lesbian. Guwe penasaran sama dua orang cewek yang menghabiskan selamanya bersama.
Beberapa buku kubaca seperti karangan Gill McKnight penulis Irlandia yang tinggal di Yunani. Bacaan miliknya seperti Ambereye (serial Garoul) terkesan ringan, enggak terlalu erotis jadi ya orang ini lewat. Juga bukan tentang vampir (tapi tentang manusia serigala).
Iron & Velvet (serial Kate Kane) karya Alexis Hall yang juga orang Inggris bagiku terlalu banyak 'omong'. Aku membayangkan versi audiobooknya yang bakal susah kumengerti (karena logat Inggris) dan sok seksi. Not my type.
Karya Winter Pennington lebih 'gelap'. Walau aku harus meringis dengan selera pengarang (hahaha sok tahu aku tentang selera pengarang) yang menyamakan submission and domination dengan cinta. Trilogi (tahun ini rencana terbit buku ke-empat) Kassandra Lyall Preternatural Investigator series dan dwilogi Losso Lusuria Vampire Novels.
Trilogi Kassandra Lyall diawali dengan Witch Wolf, diikuti Raven Mask dan Bloody Claws.
Witch Wolf menceritakan tentang Kassandra Lyall, Preternatural Private Investigator yang awalnya seorang penyihir (penganut Pagan? aku nggak ngeh apakah istilah ini sama atau berbeda dalam buku) yang juga polisi yang terpaksa berhenti bertugas karena terinfeksi virus manusia serigala. Dunia dalam buku adalah di mana makluk jejadian, supranatural dan manusia lebur dalam masyarakat dengan vampir sebagai control komunitas bukan manusia. Lenorre, satu dari countess of Oklahoma, merupakan satu dari vampir pemegang tampu kekuasaan lokal, mengirim anak buahnya yang juga manusia serigala bernama Rosalin Walker untuk menggunakan jasa Kassandra guna menyelidiki misteri hilangnya kakak Rosalin.
Dalam Raven Mask, konflik antara Kassandra dengan Sheila yang dianggap Alfa dalam kelompok manusia serigala lokal menjadi parah. Di sini jelas bahwa Lenorre ingin Kassandra menjadi Alfa menggantikan posisi Sheila yang dia anggap lemah dan punya sifat kejam. Kasus hilangnya Timothy, saksi di prekuel dari buku ini, menjadi kasus yang harus dipecahkan Kassandra.
Bloody Claws bukan merupakan seri terakhir dari serial Kassandra Lyall, dan harus menunggu lima tahun untuk buku lanjutan novel ini. Konflik Kassandra dengan Sheila kian meruncing. Kassandra dihadapkan dengan kasus pembunuhan yang membutuhkan kemampuan magisnya untuk memecahkannya.
Dwilogi Losso Lusuria dengan protagonist bernama Epiphany. Epiphany dijadikan vampir oleh Renata agar tidak mati karena wabah TB paru. Dua buku ini, satu berjudul Darkness Embraced lainnya Summoning Shadows menceritakan tentang perjuangan Epiphany menjadi Elder dan menyelamatkan nyawa Renata yang serratus lima puluh tahun lalu mendepaknya dari menjadi partner seks favorit setelah lima puluh tahun bersama. Dalam buku banyak adegan seksual, sub & dom, threesome yang mungkin ada masa depan foursome juga. Agakngeri juga baca ginian di tempat kerja atau sambal makan siang saat istirahat. Beberapa kali kulewatkan adegan dewasa karena eneg tapi dari ketiga pengarang yang tadi kusebutkan, Winter Pennington adalah favoritku.
the barking wolf
not a lone wolf
Selasa, 07 Februari 2017
Rabu, 01 Februari 2017
Ulasan Pendek Film Sin City (2005)
Bukan, ini bukan tentang film lesbian. Pertama kali Sin City menggodaku adalah dari fanfiksi. Aku membaca satu dari fanfiksi anime, di mana sang pengarang memberi judul A Dame to Kill For. Tentu ini langsung mengingatkanku pada penerbit komik Dark Horse, mengingat Frank Miller adalah kontributornya, yang salah satu bukunya dijual di Big Bad Wolf Surabaya beberapa bulan lalu (dan aku menyesaaal sekali tidak membelinya walau saat itu aku sangat tertarik).
Sin City benar-benar jelmaan komik ke dalam film. Neo-noir, satir, ironi, twisted, komikal, warna-warna unik, dan berakhir tidak bahagia baik buat si jahat maupun si baik. Tidak ada yang benar-benar putih atau hitam dalam setiap karakter, tapi seluruhnya 'sakit'. Padahal aku sempat komplain (positif) saat membaca fanfiksi yang kumaksud di atas, bahwa ini fanfiksi walau punya latar belakang yang baik ia mempunyai akhir yang sedikit menyebalkan (saat tokoh utamanya kehilangan fungsi saraf, karena disiksa oleh penjahat yang terobsesi dengan kekasihnya, yang membuat lengannya tidak berfungsi). Kusadari ternyata, cerita itu cukup adekuat untuk masuk dalam cerita pendek Sin City, ia yang paling punya cerita akhir yang bahagia.
Ada empat cerita pendek dalam antalogi kriminal Basin City; That Yellow Bastard, the Customer is Always Right, the Hard Goodbye dan the Big fat Kill.
Yang paling unik dari film ini tentu warna. Permainan cantik untuk mengurangi ketidaknyamanan penonton dalam kekerasan yang hadir di setiap menit film ini membuatku malah tak bisa lepas dari layar. Padahal aku tidak menyukai film slasher yang banyak adegan kekerasannya (film Korea The Old Boy adalah film yang membuatku trauma dengan film-film jenis ini karena kemudian aku merasa agak nyesel udah ngelihat tapi bakalan nyesel kalau enggak lihat mengingat film Korea ini baguuus dan sangat bisa dimasukkan dalam satu cerita pendek Sin City), aku tidak sekalipun mengalihkan pandangan pada adegan setidaknyaman apapun karena takut melewatkan sesuatu.
Karena sangat komikal, film ini berlebihan. Contohnya infus yang diberikan pada tokoh utama, bercak darah yang mendadak hilang atau tidak ada bekas luka maupun genangan darah saat seseorang ditembak brutal atau cepatnya sang tokoh pulih oleh tembakan demi tembakan tapi di pihak lain sang tokoh sangat menderita dengan Angina Pectoris. Sehingga editan-editan film sulit kunikmati. Film yang disyuting dalam digital backlot ini benar-benar seperti menikmati satu komik.
Ada adegan yang sebenarnya ngeri tapi aku terpikat dengan mata Elijah Wood (dari dulu memang aku suka Mr. Wood) saat dia akan dimakan oleh anjing peliharaannya sendiri. Kemudian suara-suara laki-laki yang rendah, favoritku, membuat film ini seperti Batman. Dan juga ada tokoh pendukung, Lucille, yang digambarkan sebagai tante seksi dan lesbian yang sayangnya nasibnya juga berakhir tragis dalam the Hard Goodbye.
Dan, by the way, sekuel SinCity: A Dame to Kill For (2014) was not as smart as the first one. Terlalu banyak 'bicara'.
Sin City benar-benar jelmaan komik ke dalam film. Neo-noir, satir, ironi, twisted, komikal, warna-warna unik, dan berakhir tidak bahagia baik buat si jahat maupun si baik. Tidak ada yang benar-benar putih atau hitam dalam setiap karakter, tapi seluruhnya 'sakit'. Padahal aku sempat komplain (positif) saat membaca fanfiksi yang kumaksud di atas, bahwa ini fanfiksi walau punya latar belakang yang baik ia mempunyai akhir yang sedikit menyebalkan (saat tokoh utamanya kehilangan fungsi saraf, karena disiksa oleh penjahat yang terobsesi dengan kekasihnya, yang membuat lengannya tidak berfungsi). Kusadari ternyata, cerita itu cukup adekuat untuk masuk dalam cerita pendek Sin City, ia yang paling punya cerita akhir yang bahagia.
Lucille dan Marv dalam the Hard Goodbye
Ada empat cerita pendek dalam antalogi kriminal Basin City; That Yellow Bastard, the Customer is Always Right, the Hard Goodbye dan the Big fat Kill.
Yang paling unik dari film ini tentu warna. Permainan cantik untuk mengurangi ketidaknyamanan penonton dalam kekerasan yang hadir di setiap menit film ini membuatku malah tak bisa lepas dari layar. Padahal aku tidak menyukai film slasher yang banyak adegan kekerasannya (film Korea The Old Boy adalah film yang membuatku trauma dengan film-film jenis ini karena kemudian aku merasa agak nyesel udah ngelihat tapi bakalan nyesel kalau enggak lihat mengingat film Korea ini baguuus dan sangat bisa dimasukkan dalam satu cerita pendek Sin City), aku tidak sekalipun mengalihkan pandangan pada adegan setidaknyaman apapun karena takut melewatkan sesuatu.
Karena sangat komikal, film ini berlebihan. Contohnya infus yang diberikan pada tokoh utama, bercak darah yang mendadak hilang atau tidak ada bekas luka maupun genangan darah saat seseorang ditembak brutal atau cepatnya sang tokoh pulih oleh tembakan demi tembakan tapi di pihak lain sang tokoh sangat menderita dengan Angina Pectoris. Sehingga editan-editan film sulit kunikmati. Film yang disyuting dalam digital backlot ini benar-benar seperti menikmati satu komik.
Ada adegan yang sebenarnya ngeri tapi aku terpikat dengan mata Elijah Wood (dari dulu memang aku suka Mr. Wood) saat dia akan dimakan oleh anjing peliharaannya sendiri. Kemudian suara-suara laki-laki yang rendah, favoritku, membuat film ini seperti Batman. Dan juga ada tokoh pendukung, Lucille, yang digambarkan sebagai tante seksi dan lesbian yang sayangnya nasibnya juga berakhir tragis dalam the Hard Goodbye.
Dan, by the way, sekuel SinCity: A Dame to Kill For (2014) was not as smart as the first one. Terlalu banyak 'bicara'.
Langganan:
Komentar (Atom)







