“dr. Dian itu…perempuan?” Bibir lelaki tua itu sedikit gemetar.
“Lagi-lagi ketemu pasien kayak gini…” Dian bergumam pada diri sendiri. Dikatupkannya kedua bibir, menguatkan diri, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya dengan nada datar.
Lelaki tua itu menatap Dian, lalu menengok ke cucunya dengan bingung.
“Kakek sulit kencing, dok. Pas bisa kencing, yang keluar warnanya merah,” cucunya menjelaskan permasalahan sang kakek.
“Kejadiannya kapan, Pak?”
“Tiga minggu lalu,” jawab kakek.
“Sudah periksa ke dokter lain sebelum ke sini?”
“Belum.”
“Kakek kemarin lupa nyiram WC, itu kenapa kami bisa tahu kalau kencing kakek berwarna merah,” cucunya menambahkan.
“Nggak sakit kok waktu kencing,” gerutu kakek sambil menggaruk betisnya yang tak gatal.
“Sejak kapan Bapak sukar kencing?”
Kakek hanya diam, cucunya memberi kode dengan menyikut lembut iga kakeknya. “Dua tahun,” tukas kakek.
“Untuk keluhan itu juga belum ke dokter?”
“Belum,” ganti cucunya menyahut.
“Tapi aku minum obat kok!”
“Yang dimaksud kakek itu obat untuk batuknya, dok.”
“Obat apa?” tanya DIan sabar.
“Kakek nggak tahu namanya, dok, tapi ini ada kartu kontrolnya.”
Dian membaca kartu yang disodorkan kepadanya dan dia tersenyum. “Berapa lama Bapak minum obat ini?”
“Tiga minggu.”
“Oke…”
“Oke?” tanya kedua laki-laki itu bersamaan.
“Salah satu obat yang Bapak minum punya efek samping membuat kencing berwarna merah. Silahkan Bapak berbaring di tempat tidur, saya akan melakukan pemeriksaan fisik,” Dian bangkit dari tempat duduknya.
“Lho, kata dokter itu karena efek samping obat? Kenapa masih perlu diperiksa di tempat tidur?” Sang kakek tampak keberatan.
“Lho, katanya Bapak tadi ada keluhan susah kencing?”
Kakek itu menoleh pada cucunya, lalu kembali berpaling pada Dian, “Boleh saya…boleh saya milih dokter cowok untuk memeriksa saya?” Kakek itu berusaha menelan rasa malunya.
“Ya Tuhaaan…!” Jerit Dian dalam hati namun yang tampak pada wajahnya hanya senyum kecut.
———x———
Dian makan tanpa jeda untuk bernapas. Setangkup besar roti daging habis dilalapnya kurang dari lima menit. Dia hampir tersedak saat Maya tiba-tiba duduk di hadapannya di kantin rumah sakit, susah payah ditelannya gigitan roti terakhir yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulut. Maya tersenyum melihat ekspresi Dian.
Dian meraih air mineral dan berusaha meminumnya dengan tenang.
“Memang betul kata Dani, Dian makannya cepat,” Maya berkata sambil jarinya menggambar lingkaran-lingkaran ilusi di atas meja.
“Dani ngomong apa lagi tentangku?” Tanya Dian sambil tersenyum, kepercayaan dirinya sudah kembali.
Maya mencondongkan badannya ke arah Dian, suaranya setengah berbisik seolah sedang memberitahu sebuah rahasia, “Katanya Dian ngorok kalau tidur.”
“Aku nggak ngorok!” Sahut Dian sengit.
Maya bersandar ke belakang sambil menahan tawa. “Kita keseringan ketemu ya dr. Dian?” Kata Maya mengulang kata-kata Dian.
Dian tersenyum. Ada jeda yang membuat keduanya berdebar. Teringat bahwa masih bertugas, Dian membuang napas dan menata niatnya kembali, dibereskannya peralatan makannya dan beranjak pamit.
“Saya dengar Dian merawat ayah Bilqis ya?”
“Ah, iya. Aku lupa kemarin nggak bilang kalau aku merawat ayah mbak Bilqis. Kemungkinan besok beliau keluar rumah sakit. Aku belum bilang keluarganya.”
“Kabar bagus tuh buat Bilqis. Nanti saya sampaikan deh,” tatapan mata Maya enggan meninggalkan Dian.
Dian duduk kembali ke kursinya. “Dani dan mbak May sedang ngerjain penelitian apa?”
Maya tersenyum, matanya terpejam dan kepalanya menggeleng beberapa kali, “Dian nggak mau tahu tentang itu.”
Sambil tertawa kecil Diam bertanya, “Kok ngomong kayak gitu?”
“Kalau beneran mau tahu Dian bakal nanya ke adiknya yang satu rumah, bukan sama saya.”
“Aku lebih sering ketemu mbak May daripada sama Dani.”
“Seharusnya dr. Dian meluangkan waktu lebih banyak di rumah daripada di rumah sakit.”
“Sudah jadi kenyataan yang tak bisa dipungkiri mbak: ‘Rumah sakit adalah rumah kedua’,” Dian mengangkat tangan kanannya dan menggerakkannya dari kiri ke kanan, berusaha memberikan kesan bahwa dia sedang mengeja tulisan.
“Yan! Kamu dicari sama juniormu lho!” Seseorang memotong pembicaraan Maya dan Dian dengan nada meninggi. “Ada pasien trauma multipel, curiga internal bleeding, jejasnya di perut kanan. Ini nunggu hasil lab sambil stabilisasi di ruang resusitasi terus langsung ke kamar operasi. Anestesi udah ngirim sampel ke bank darah. Kamar operasinya mumpung ada yang kosong,” perempuan berambut model Bob itu berdiri di sebelah Dian.
“Mbak May aku cabut dulu ya, lain kali ngobrol lagi,” Dian melempar senyum memohon maklum ke arah Maya. Dian segera membuntuti si rambut Bob yang masih mengomel karena Dian meninggalkan telepon genggamnya yang batereinya sedang diisi ulang di kamar jaga dokter sehingga tak ada yang mengangkat saat dia dihubungi.
Maya masih melihat gerak-gerik keduanya sampai mereka lenyap dari pandangannya. Maya tidak sabar menunggu saat ‘lain kali’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar