Maya terbangun oleh cahaya yang masuk lewat jendela. Ia lupa minum obat dari psikiaternya semalam, tapi merasa segar bugar pagi ini. Tidur enam jam tanpa bangun di tengah-tengahnya sudah menjadi sesuatu yang langka baginya.
Ia memulai hari dengan sarapan yang agak kesiangan sambil menyelesaikan laporan mingguan penelitiannya. Ia membaca satu dari proposal penelitian asistennya saat teleponnya berbunyi. Lagu favorit Rani bergema di seluruh rumah, sentilan rasa sedih kembali mengambangkan hati Maya. Bulan-bulan awal ia kehilangan Rani, ia memutar lagu ini berkali-kali dalam pemutar musiknya terutama malam hari untuk meninabobokannya, bahkan ia jadikan nada lagu untuk telepon yang masuk ke telepon selulernya.
"Ayooo angkat telponnya..." Suara Anita yang tak sabaran terdengar setelah Maya menekan tombol hijau namun belum memberi sapaan.
"Selamat pagi, Nita, suaramu keras banget seperti biasa," Maya berkata sambil mengulum senyum.
"Kok dirimu ngirim laporannya ke aku?"
"Ya ampun... Sori, Nit. Ntar saya e-mail ulang deh. Kali ini nggak bakal salah."
"Kemarin jadi ketemu dr. Yuni?"
"Iya jadi."
"Pokoknya jangan kelewatan waktu kontrolnya ya. Dirimu tak berguna kalau lagi stress."
"Iya iya, sori..."
"Dirimu ada acara akhir pekan nggak?"
"Nggak ada sih, tapi saya pingin ke Pantai. Acara pelepasan Tukik," Maya menolak halus pertanyaan berbalut permintaan menghabiskan akhir pekan bersama Anita dan Bilqis. Dua sahabatnya, yang merupakan sepasang kekasih, sejak kepergian Rani mereka selalu menghabiskan akhir pekan bersama Maya bila mereka sedang di kota yang sama.
"Bareng aja sama si Dani. Katanya dia mau ikutan acara itu juga. Dia berangkat sore ini seingatku."
-----x-----
Kenalan Anita dan Bilqis, si Dani ini, salah satu pendana rutin penelitian Maya, Anita dan Bilqis. Dani juga mendanai observasi dan konservasi penyu di Pantai berkat keluarganya yang kaya yang bergerak di bisnis yang juga berkaitan dengan laut.
Setelah Maya meraih ijasah Dokter Hewan, ia bekerja di bidang biologi laut. Anita, yang sempat menunda kuliah, dan Bilqis sebenarnya tak berasal dari universitas yang sama dengan Maya meskipun satu SMA. Maya kembali ke kota mereka saat menjalin hubungan dengan Rani dan memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai staf pengajar di universitas tempat Anita dan Bilqis belajar. Awalnya Anita dan Bilqis menjadi asistennya, mereka bertiga menjadi satu regu peneliti setelah Anita dan Bilqis lulus.
Sekembalinya dari Pantai keesokan harinya, Maya bersiap diri untuk kembali ke rumah namun Dani menahan Maya agar tidak pulang. Maya membicarakan tentang penelitian yang sedang mereka lakukan dan Dani memberi kabar bahwa ada sumber dana penelitian baru yang sedang digelontorkan pemerintah Jepang. Maya sedang tidak ingin memutuskan apakah tahun depan kembali meneliti atau rehat dulu, ia hanya mengangguk-angguk mendengarkan Dani.
Telepon genggam Dani bergetar. Dani beranjak untuk menerima panggilan.
Dari kejauhan, Maya dapat melihat raut muka Dani yang berubah kesal. "Jadi mbak beneran nggak bisa ke sini nih?" Nada Dani yang halus terdengar meninggi, sinkron dengan suara-suara yang muncul di telinga kanan Maya. Maya tiba-tiba ingat kalau harus membuat janji temu dengan dokter THTnya.
"Orang sakit sialan," Dani menghentak-hentakkan kakinya ke rumput, "Pokoknya kutunggu satu jam lagi. Mbak datang ke sini, kita makan siang bareng," ditutupnya telpon genggam tanpa mendengar balasan dari seberang. "Sori, May, itu tadi kakakku," Dani kembali ke ruang tamu dan mengatakan alasan dia memotong informasinya tadi.
"Saya tidak tahu kalau Dani punya kakak."
Dani nyengir, hidungnya yang kecil merupakan favorit Maya dari wajah Dani, "Mau makan siang gabungan sama kakakku?"
"Enggak deh. Kalian biar punya 'quality time'."
"'Quality time' idealku sebenarnya itu jalan-jalan bareng. Pernah di bioskop, pertengahan nonton, aku ditinggal sendirian tahu waktu nonton Batman V Superman karena mendadak disuruh nggantiin seniornya operasi. Ini janjian makan siang bareng di rumah aja mendadak dia nggak bisa karena harus mberesin pasien yang datang di jam jaganya. Padahal dia udah jaga 24 jam di rumah sakit, lho."
"Kakak Dani dokter?"
"PPDS bedah uro."
"Saya kenal PPDS bedah uro yang namanya Dian..."
"Kakakku satu-satunya Dian di bagian itu."
Mulut Maya membentuk kata 'ooh...'
"Kalau kenal dia ya ayuk makan siang bareng aja."
"Nggak kenal sih, cuman tahu aja," Maya meralat ucapannya.
"Cepet kok. Makannya dia paling lama cuma lima belas menit. Dia males ngobrol kalau cuma ada aku di meja makan. Katanya mending dia ngabisin waktu buat tidur daripada ngobrol sama aku. Nyebelin kan? Adiknya ini susah-susah cari waktu di tengah bisnisnya yang sedang menjamur, eh kakaknya kek gitu..." Dani meluapkan kekesalannya sambil mendramatisir situasi, Maya tersenyum mendengarnya.
-----x-----
Dian bergabung dengan mereka setengah jam setelah Maya dan Dani selesai makan siang. Dia terkejut dengan kehadiran Maya.
"Wah, Mbak May, kita sekarang kok keseringan ketemu ya?" Ujar Dian, dalam pelukan Dani, berusaha menyapa Maya.
"Halo dr. Dian. Dani maksa banget supaya saya makan siang bareng."
"Kalian kenal satu sama lain?"
"Ya ampun Yaaan," Dani menjambal Dian, "Mbok ya kegiatan adiknya ini diperhatikan donk. Aku sama Maya ini udah kerja sama 4 tahun lho. Dia sering nginep sini sama Anita sama Bilqis."
"Cewek nginep di rumah teman cowok? Nggak banget deh Dan."
Maya pura-pura tersedak.
"Cewek-cewek yang enggak jelas doyan cowok atau enggak. Sama kayak elu." Dani masih belum melepaskan pelukannya dari sang kakak.
Yang satu ini membuat Maya tersedak betulan.
"Ssst..." Dian menoyor kepala Dani, "Punya hak apa elu ngasih info gituan?"
Dani nyengir dan mempererat pelukannya. Diduga lesbian dan sister-complex, kakak-adik yang serasi untuk memusingkan kepala orang tua mereka, batin Maya.
Telepon genggam Dian menyalak. "Halo?" Angkatnya dengan buru-buru setelah merampasnya dari Dani.
"Orang sakit sialan," ujar Dani sambil duduk, menatap kakaknya yang menjauh dari ruang makan. "Kayak gitu lho Dian itu. Dulunya sok sibuk sekarang beneran nggak ada waktu."
"Nggak heran waktu SMA dulu kami nggak pernah ketemu," kata Maya sambil memainkan pinggiran gelas.
Maya dan Dani saling berpandangan dan tersenyum.


