Sambil mendengar cerita Anita dan Bilqis, Maya menghirup teh putih perlahan-lahan. Matanya menangkap sosok familier yang sedang memasuki kafe.
Perempuan itu datang bergerombol, dia tampak larut dalam pembicaraan dengan perempuan lain yang berambut pendek dan kemerahan. Satu di antara mereka mengenali Maya dan menyapanya. Elv, anggota Mading saat mereka SMA dulu, Maya ingat bahwa Elv adik kelasnya. Sudah lewat sepuluh tahun dan orang-orang masih mengenali satu sama lain meski tidak pernah lagi berjumpa.
"Kebetulan kami sedang reuni kecil, morotin Dian yang barusan naik jadi Chief." Elv menunjuk perempuan yang bernama Dian yang berambut panjang dan memiliki mata coklat, yang pernah dengan wajah tanpa dosa menyodorkan sapu tangan belepotan ingus kepada Maya sebulan lalu.
"Dian juga satu SMA sama kita?" Tanya Maya. Aneh, bising di telinga kanan Maya mendadak reda. Biasanya ia butuh satu atau dua permen karet untuk mengusirnya.
"Iyalah. Dia sering banget jadi PR buat Guru BP waktu kita udah lulus. Rani nggak pernah cerita?" Anita nyeletuk. Maya yang ditanya malah diam. Maya mengerti kini mengapa Dian mengajaknya ngobrol waktu itu, mungkin Dian hanya tak ingat nama Maya walaupun ia sangat tenar di SMA.
"Rani? Rani anak Mading, Mbak Nit?" Elv menimpali.
"Iya, Rani anak Mading." Anita menegaskan.
Maya gelagapan, "Rani sering bantu-bantu penelitian kami. Dia dekat sama saya." Maya tersenyum pada Elv sambil menginjak kaki Anita.
"Ah, iya, aku denger lho tentang penelitian Mbak di Maluku. Keren banget tuh Mbak. Katanya kerjasama sama yang biasa bikin film dokumenter luar negeri, ya?"
"Anita sama Bilqis yang masih bolak-balik Maluku-sini. Mereka baru aja nyampe," Maya iri pada kulit Bilqis yang terbakar matahari, "Sementara saya ditinggal di sini, ngedit laporan kegiatan, presentasi, cari dana penelitian, ngajar, dan ngelakuin pekerjaan membosankan lainnya."
"Kamu lho belum tympanoplasty. Kalau nggak nyelam ya buat apa kamu ke Maluku." Anita mengomel balik.
"Telinga Mbak May kenapa?" Elv mengalihkan tatapan ke Maya.
Ada jeda lama sebelum Anita memecahkan kesunyian. "Elvina tau kabar terakhir Rani?"
"Enggak..." Elv gelisah, mendadak keadaan menjadi tidak menyenangkan.
"Rani meninggal enam bulan lalu," Maya sedikit tercekat.
"Maya sedang menyelam saat..." Bilqis menambahkan yang segera diteruskan oleh Anita, "Saat aku, dalam keadaan panik langsung menyampaikannya pada Maya."
"Maya naik terlalu cepat ke permukaan..." Bilqis melanjutkan lagi dan kali ini dipotong oleh Maya, "Untungnya saya cuma kehilangan pendengaran telinga kanan."
"Karena kebodohan kita berdua, May, aku bisa-bisa menghadiri dua pemakaman waktu itu." Anita tersenyum getir.
Elv mengangguk-angguk, sebagai orang medis dia mengerti apa yang terjadi.
"Tapi kuping ini memang kumat-kumatan, lama-lama juga pasti nggak denger." Tinitus Maya semakin hebat setelah peristiwa itu. Sebelumnya Rani sudah sering membujuk Maya untuk melakukan tympanoplasty tapi Maya selalu menunda-nunda kunjungannya ke dokter THT, meski merasa nyeri saat menyelam untuk penelitian.

