the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Jumat, 29 April 2016

2: Pada Sebuah Kafe

Sambil mendengar cerita Anita dan Bilqis, Maya menghirup teh putih perlahan-lahan. Matanya menangkap sosok familier yang sedang memasuki kafe.

Perempuan itu datang bergerombol, dia tampak larut dalam pembicaraan dengan perempuan lain yang berambut pendek dan kemerahan. Satu di antara mereka mengenali Maya dan menyapanya. Elv, anggota Mading saat mereka SMA dulu, Maya ingat bahwa Elv adik kelasnya. Sudah lewat sepuluh tahun dan orang-orang masih mengenali satu sama lain meski tidak pernah lagi berjumpa.

"Kebetulan kami sedang reuni kecil, morotin Dian yang barusan naik jadi Chief." Elv menunjuk perempuan yang bernama Dian yang berambut panjang dan memiliki mata coklat, yang pernah dengan wajah tanpa dosa menyodorkan sapu tangan belepotan ingus kepada Maya sebulan lalu.

"Dian juga satu SMA sama kita?" Tanya Maya. Aneh, bising di telinga kanan Maya mendadak reda. Biasanya ia butuh satu atau dua permen karet untuk mengusirnya.

"Iyalah. Dia sering banget jadi PR buat Guru BP waktu kita udah lulus. Rani nggak pernah cerita?" Anita nyeletuk. Maya yang ditanya malah diam. Maya mengerti kini mengapa Dian mengajaknya ngobrol waktu itu, mungkin Dian hanya tak ingat nama Maya walaupun ia sangat tenar di SMA.

"Rani? Rani anak Mading, Mbak Nit?" Elv menimpali.

"Iya, Rani anak Mading." Anita menegaskan.

Maya gelagapan, "Rani sering bantu-bantu penelitian kami. Dia dekat sama saya." Maya tersenyum pada Elv sambil menginjak kaki Anita.

"Ah, iya, aku denger lho tentang penelitian Mbak di Maluku. Keren banget tuh Mbak. Katanya kerjasama sama yang biasa bikin film dokumenter luar negeri, ya?"

"Anita sama Bilqis yang masih bolak-balik Maluku-sini. Mereka baru aja nyampe," Maya iri pada kulit Bilqis yang terbakar matahari, "Sementara saya ditinggal di sini, ngedit laporan kegiatan, presentasi, cari dana penelitian, ngajar, dan ngelakuin pekerjaan membosankan lainnya."

"Kamu lho belum tympanoplasty. Kalau nggak nyelam ya buat apa kamu ke Maluku." Anita mengomel balik.

"Telinga Mbak May kenapa?" Elv mengalihkan tatapan ke Maya.

Ada jeda lama sebelum Anita memecahkan kesunyian. "Elvina tau kabar terakhir Rani?"

"Enggak..." Elv gelisah, mendadak keadaan menjadi tidak menyenangkan.

"Rani meninggal enam bulan lalu," Maya sedikit tercekat.

"Maya sedang menyelam saat..." Bilqis menambahkan yang segera diteruskan oleh Anita, "Saat aku, dalam keadaan panik langsung menyampaikannya pada Maya."

"Maya naik terlalu cepat ke permukaan..." Bilqis melanjutkan lagi dan kali ini dipotong oleh Maya, "Untungnya saya cuma kehilangan pendengaran telinga kanan."

"Karena kebodohan kita berdua, May, aku bisa-bisa menghadiri dua pemakaman waktu itu." Anita tersenyum getir.

Elv mengangguk-angguk, sebagai orang medis dia mengerti apa yang terjadi.

"Tapi kuping ini memang kumat-kumatan, lama-lama juga pasti nggak denger." Tinitus Maya semakin hebat setelah peristiwa itu. Sebelumnya Rani sudah sering membujuk Maya untuk melakukan tympanoplasty tapi Maya selalu menunda-nunda kunjungannya ke dokter THT, meski merasa nyeri saat menyelam untuk penelitian.

Kamis, 28 April 2016

Serat Kawitan

Siang ini seorang teman dekat yang pernah bersekolah bersama mendatangiku di kampus saat aku sedang mencicil pengerjaan tugas akhir. Aku sudah tahu dia akan mencariku berhubungan dengan masalah yang terkait aku di calon tempat kerjanya yang baru.

Dia bilang tak mengerti dengan dunia kerja.

Aku bilang, ya jalani saja tak usah dimengerti.

Aku bisa mengerti ketakutannya. Ketakutan yang sama kurasakan bahkan saat kembali di tempat kerja lama. Ada rasa penasaran, tertantang, terpesona, tapi aku juga merasa was-was, dibicarakan, sendirian, tak berdaya, dan sebagainya.

Bedanya adalah aku merasakannya di setiap waktu sehingga ada kekebalan yang terbentuk pelan-pelan, sedang bagi temanku semua itu baru, akut dan melimpah.

Serat Kawitan

Aku selalu menyukai kata-kata "In My End Is My Beginning" karena meski menimbulkan rasa kuatir, kata-kata ini mengandung pula harapan yang besar. Aku berharap bisa menyampaikan apa yang kumaksudkan dengan pemikiran yang positif sejalan dengan kata-kata ini kepada temanku yang sedang gelisah hari ini bahwa dia sedang menulis awalan buku baru dalam hidupnya, dan sepertiku nantinya dia akan memiliki banyak buku-buku baru yang menerbitkan harapan-harapan serta tantangan.

I wish you godspeed, my dear friend...

Minggu, 24 April 2016

Reuni untuk Ada Apa Dengan Cinta?

Aku ikut berbaris dengan wajah bosan. Lagi-lagi kena razia penertiban penggunaan sepatu siswa oleh OSIS yang aku yakin pengurusnya pun ada yang melanggar itu peraturan. Di hadapanku, dengan sepatu transparan model terbaru ia dengan ribut menunjuk-nunjuk ke sepatunya lalu menepuk dahi, bercerita dengan wajah memerah karena malu ke sahabatnya yang bukan pengurus OSIS bahwa itu satu-satunya sepatu yang ia miliki karena sepatu hitamnya rusak.

"Ini membuktikan kalau OSIS kita bersih, pengurusnya aja kena jaring," temannya menimpali dengan terkekeh.

Pandangan mataku sudah hampir gelap karena hipotensi. Ia, kembali dengan suaranya yang ribut, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Pasti mukaku pucat. Kupaksakan sedikit senyum sambil membuat gerakan "tidak apa-apa" dengan tangan kananku. Sebelum situasi berubah jadi lebih dramatis, aku mengangkat satu tangan untuk meminta ijin keluar dari barisan dan mencari tempat duduk. Atau tempat berbaring.

Ruang kesehatan punya arah yang berkebalikan dengan ruang OSIS. Salah satu alasan kenapa aku senang melewatkan hari-hari kesehatanku turun adalah suaranya takkan menembus lapisan dinding dan ruang yang panjang. Hampir tiga tahun aku mengakrabi lengking yang timbul dari dalam mulutnya, kamar asrama kami bersebelahan, dua tahun kami satu kelas dan tahun ketiga ini cumalah tahun di mana aku harus membiasakan diri agar tak bertemu dengannya setiap hari.

Orang bilang cinta pertama adalah cinta yang paling membekas.

Sepuluh tahun lagi aku tak yakin akan mengingatnya seperti itu.

"Mungkin kumiliki seluruh cintamu?
Kusadari semua itu anganku..."*

Satu kompi genk asrama kami merajuk kepada Ibu Asrama untuk memberi ijin nonton bareng Ada Apa Dengan Cinta? Aku termasuk yang digandengnya untuk ikut.

"Kamu nanti nggak bakal bisa nonton lho, ngantri tiketnya bukan main. Ntar kalau nonton sendiri trus kamu pingsan pas ngantri nanti siapa yang bakal nolongin?"

Tanpa dirayu demikian pun aku pingin ikut. Bukan untuk melihat Dian Sastro. Apalagi Nicholas Saputra, seleraku lebih ke wajah pemain Alya dibanding dua bintang yang kerupawanannya menjadi buah bibir. Tapi aku tak berharap banyak kecuali aku ikut meramaikan keasyikan nonton bareng sama teman seasrama. Dalam hatiku ada perasaan yang terus kuingkari dan berusaha padamkan.

"Kuingin katakan hanyalah dirimu
Yang melukis warna mimpi hatiku..."*


Dian Sastro dan Nicholas Saputra dalam poster film AADC2

Empat belas tahun kemudian kujumpai diriku seperti Cinta dan Rangga, ke mana pun langkahku pergi, sejauh apapun hubungan cintaku dengan orang-orang baru, saat patah hati dan sendiri aku kembali mengenangnya. Mencintai dirinya yang ada dalam kenanganku.

Kusadari ini bukan karena aku masih mencintainya atau tak bisa ke lain hati. Kadang yang kita rindukan hanyalah kenangan.

"Ingin kumiliki dengan sepenuh hati
Walau kuharus setengah terluka mengharap cintamu
Ingin kusayangi tanpa terbagi lagi
Apakah mungkin menjalin kasih bila aku tak tahu bagaimana kau mencintai diriku?"*

Aku tersenyum sendiri, membaca puluhan komentar teman SMA di Facebook. Mereka ingin mengulang kembali masa nonton bareng empat belas tahun yang lalu dengan kehadiran Ada Apa Dengan Cinta 2? Aku tak yakin, walau dengan semangat yang menggebu dan rencana yang sepertinya matang, ia akan datang ke kota tempat SMA kami berada yang kini kutinggali dan ikut reuni kecil ini. Aku juga tak yakin tak bakal sibuk di hari H.

Seperti Cinta, selama empat belas tahun aku tak pernah pergi. Dan seperti Rangga, empat belas tahun ia tak pernah kembali.

Aku tak berharap ia kembali untukku. Biar saja perasaan ingin yang kumiliki menjadi perasaan ingin saja. Seperti saat ia ingin membalas perasaanku belasan tahun lalu: All I'm asking for is a chance to let me love you...

"Ingin kumiliki..."*

*Lagu yang dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya: Ingin Kumiliki

Minggu, 17 April 2016

Masa Lalu.

Lamunanku berisi tentang mimpi dua malam yang mengganggu perasaanku.

Tentang dia yang tak pernah memberiku sedikitpun porsi dalam keputusan penting dalam hidupnya. Tentang dia yang kini bahagia dengan ia yang dikatakannya bukan duri dalam daging dalam hubungan kami.

Bisa jadi ini perkara sugesti dari teman sekamar yang mengatakan, dua malam berturut-turut, mimpi aku balikan dengan mantan.

I loved her. I still do. But we're fine this way.

Memaafkan tentu bukan perkara mudah. Melupakan, adalah hal sulit yang lain lagi. Saat dia memutuskanku hidupku benar-benar tengah berada di titik rendah, demikian menjadi kesukaran yang beda lagi dalam melupakan dan memaafkan. I'm human, too. Tell me, how can I stay calm and emotionally strong when I got so many problems and see the only woman I love "in love" with another woman? I'm human, too...



Dia yang tak pernah menggunakan sepatu Boot dalam hidupnya