Dimulai dari judulnya, The Handmaiden (Korea: Agassi/Lady) bisa jadi berfokus kepada sang pelayan atau berfokus pada sang tuan puteri, plot twist ini adalah satu dari yang paling menarik dalam film ini. Berlatar negara Korea pada jaman penjajahan Jepang, film diawali dengan proses masuknya Sook-hee sebagai pelayan baru di rumah bangsawan Jepang bermarga Kouzuki, ia kemudian menjadi asisten Lady Hideko yang merupakan ahli waris kaya raya. Masih konsisten mengikuti novelnya, film ini bak dibagi tiga babak. Babak pertama tentang proses perekrutan pelayan oleh 'bangsawan Fujiwara', yang berencana menikahi Lady Hideko demi uang, sampai dimasukkannya sang pelayan ke rumah sakit jiwa. Babak ke dua dan ke tiga dari film ini mulai mengambil jalan lain dari novel dan hal ini sangat menarik, di sinilah penulis mengeksekusi konflik dengan cerdas dan mengejutkan.
Bangsawan Fujiwara, Sook-hee, Lady Himeko, dan Kouzuki.
Dibandingkan adaptasi yang dilakukan BBC TV tahun 2005, film yang diputar tahun 2016 ini lebih tidak bertele-tele dan punya latar/screenplay yang indah. Bila dibandingkan dari segi akting, Sally Hawkins memang sulit ditandingi Kim Tae-ri, keduanya memerankan tokoh yang sama. Hal yang membuat The Handmaiden terasa pahit di lidahku adalah adegan seks yang terasa seperti buat mata cowok banget.
Menonton film ini harus hati-hati karena beberapa adegan tidak enak dilihat sambil kerja (telanjang) dan tidak enak dilihat sambil membayangkan sakitnya (adegan penyiksaan) toh ini karya Park Chan-wook (Oldboy, 2003, semacam The Raid versi berandal versus berandal dengan cerita yang jauh lebih bagus -ini film keren banget tapi setelah lihat nyesel tapi kalau enggak lihat nyesel juga-) enggak jauh-jauh dari sadis, humor gelap, dan enggak pakai baju tapi plot empat jempol dan mata dimanja banget sama keindahan filmnya.
Buat yang suka Blue Is The Warmest Color, film ini wajib tonton.
