the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Rabu, 29 Juni 2016

4: Pada Persimpangan Konsolidasi

Maya masih punya waktu setengah jam sebelum bertemu dengan psikiaternya. Ia menyelinap masuk ke dalam lift khusus staf, naik hingga level helipad. Ia duduk dekat ruang generator, mencari pemandangan paling bagus untuk menikmati lampu kota yang serupa pecahan kaca.

"Cuma staf lho yang boleh ke sini." Suara yang berat mengagetkan Maya. Dian berdiri di belakangnya, melepas jaket putih dan mencampakkannya pada semenan berundak yang bisa dijadikan tempat duduk atau berbaring.

"Aku Dian. Sapu tangan Mbak masih ada di aku." Dian tersenyum.

"Maya." Maya mengamati Dian yang sedang bersiap berbaring.

"Kami PPDS* bisa tidur di mana saja, sesempatnya. Beberapa jam lagi shift 32 jamku sudah berakhir, tapi ya masih harus nyeleseiin ini-itu," sambil berkata begitu, mata Dian kosong menatap langit. Berkali-kali Maya melihatnya menghembus napas berat. "Pasienku baru saja meninggal. Berulang kali aku sudah diingatkan untuk hanya berempati pada pasien, tapi prakteknya sulit."

"Saya turut berduka cita."

"Sebenarnya itu yang terbaik. Ini adalah sepsisnya yang ketiga. Pasien ini sudah sangat tua. Sepsis dan kanker, sakitnya berat. Aku cuma ingin memastikan bahwa dia meninggal tanpa nyeri."

"Tapi Dian tidak yakin dia benar-benar bebas nyeri?"

"I-iya." Dian menoleh terkejut dengan pertanyaan Maya yang senada dengan pertanyaan miliknya sendiri.

"Saat kuliah dulu, penelitian saya membuktikan penelitian luar negeri tentang cara membunuh hewan ternak dengan rasa sakit yang minimal. Dosen pembimbing saya mengamini bahwa dengan memotong kedua arteri karotis, saluran napas dan saluran makan secara bersamaan."

"Ya masa' aku harus motong karotisnya pasienku?"

Maya tertawa, "Kan mereka bukan hewan ternak."

Dian ikut tertawa, dia mengerti maksud Maya. "Seharusnya aku bener-bener nggak mau jadi dokter."

"Dian dokter apa?"

"Lagi ambil spesialis Bedah Urologi."

"Wow..."

"Tunggu-tunggu, spesialisasiku bukan hanya tentang 'burung' lho."

Maya tertawa lagi. Siapa juga yang mikir gitu, batin Maya gemas.

"Mbak cantik lho kalau murah senyum gitu. Beneran, deh." Dian menatap Maya. "Mbak ke sini ngunjungin siapa?"

"Saya ke polinya dr. Yuni." Maya menjawab sambil dengan enggan mengalihkan pandangannya dari Dian ke lampu kota. "Pacar saya meninggal enam bulan lalu. Anita memaksa saya menemui dr. Yuni supaya saya tidak mengalami gangguan penyesuaian diri."

"Rani anak Mading?" Kesimpulan Dian bak air dingin yang disiram ke tengkuk Maya. Tapi raut wajah Dian tak berubah, seolah tak ada yang aneh dari pernyataannya barusan.

Wajah Maya tak lagi pucat saat Dian beranjak berdiri. Dikenakannya kembali jaket putih dan berkata, "Kalau Mbak butuh ngomong, dan nggak keberatan ngomong sama orang asing, Mbak boleh kok nemuin aku."

"Eh Mbak, jangan bunuh diri lho ya." Kata Dian sebelum menutup pintu menuju lift.



-----x-----



Beberapa jam sebelum tengah malam, Maya sudah berada di rumah. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya saat melakukan sesi bersama dr. Yuni. Bagaimana bisa ya ia nggak ingat Dian sama sekali?

Maya mengeluarkan semua album foto miliknya saat SMA, mencari Dian di setiap foto. Memang, Dian ada dalam beberapa, salah satunya saat festival sekolah. Dian memakai seragam olah raga sekolah mereka, tampaknya menjuarai lomba lari. Maya ingat festival itu, tapi tak merasa pernah melihat Dian. Maya pasti takkan melupakan wajah menyebalkan itu.

Dengan jas putihnya sekarang, Dian masih punya postur atletis yang sama. Rambutnya lebih pendek dari foto, diikat rapi tidak terurai seperti dulu, mungkin karena tuntutan pekerjaan. Ada lesung di pipi kanannya, memang Dian sekarang lebih kurus dibandingkan foto.

Dian yang sekarang lebih disukai Maya, mungkin karena Maya sudah berinteraksi langsung dengan Dian yang sekarang, bukan hanya lewat foto. Ia terkesan dengan pribadinya yang hangat.

Maya lalu melihat foto Rani. Rambut gaya asimetri yang Rani pertahankan sampai tahun keduanya di SMA. Ia mencari lagi album foto milik Rani dan menemukan foto Dian dan Rani saat lomba memasak, sepertinya saat itu Maya sudah lulus. Lengan Dian dalam genggaman Luh. Luh dulu cinta pertama Yoga, wakil ketua OSIS angkatan Maya saat ia menjabat ketua OSIS. Ada dr. Yuni juga saat dia menjadi sukarelawan medis oleh alumni untuk mengawal festival yang diadakan sekolahnya sebelum melanjutkan sekolah spesialis.

Terbawa oleh kenangan, Maya tiba-tiba merasa seperti sangkar yang kosong. Rani takkan kembali ke rumah ini dan kamar-kamar yang ada di dalamnya menjadi lengang dan kelabu. Meski hari ini secercah cahaya muncul dalam hati, Maya membaringkan tubuhnya yang mendadak terasa penat, matanya terpejam dan ia bermimpi tentang masa-masa SMAnya.


-----x-----


Catatan penulis: di fakultas tempat mantanku sekolah dulu kebanyakan berasal dari lulusan SMA/SMP yang sama. Latar belakang dan nama dalam cerita ini kuambil dari hal-hal nyata di sekelilingku, hanya kuambil seperlunya saja dan cerita ini tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata.

*PPDS: Peserta Pendidikan Dokter Spesialis