the barking wolf

the barking wolf
not a lone wolf

Minggu, 29 Mei 2016

3: Pada Satu Frekuensi Kenangan

Jam kerja sudah lewat dari tadi, Maya akhirnya pulang ke rumah. Penerangan jalan menjadi satu-satunya sumber cahaya, rumahnya gelap, ia lupa mengganti bola lampu terasnya yang tak mau menyala sejak dua hari lalu. Rani biasanya yang paling tanggap untuk masalah seperti itu.

Memasukkan mobilnya ke dalam garasi, Maya diam sebentar, tak bisa mematikan lagu yang sedang diputar di radio.

"..there's a boy here in town says he'll love me forever
Who would have thought forever can be severed by the sharp knife
Of a short life
I've had just enough time..." *

Rani baru saja belajar bermain gitar saat kecelakaan terjadi. Dia masih berusaha mengingat kunci-kuncinya, lagu ini yang pertama kali dia bawakan saat mereka sedang santai berdua. Permainan gitar Rani luar biasa kacau, bisa dibilang dia tidak punya bakat musik sama sekali. Maya ingat sekali waktu itu, ia duduk di sofa yang nyaman, beberapa jam sebelum perayaan tahun baru. Maya sedang menikmati teh putih kesukaannya sambil nonton National Geographic saat Rani mematikan TV tiba-tiba. Rani duduk di meja di hadapan Maya dan mulai memainkan gitarnya. Maya geli sendiri mendengar Rani bernyanyi, nyatanya Rani cuma kuat memainkan satu lagu karena ujung-ujung jemarinya tak kuat menekan senar. Ujung jari Rani masih sensitif, Maya sebenarnya menyayangkan pilihan alat musik yang ingin dimainkan Rani, ia sudah berulang kali mengajarinya bermain piano tanpa kemajuan berarti.

Lama setelah the Band Perry berlalu, Maya mematikan mobil sepenuhnya.

Maya membaca pesan yang dikirim oleh Anita, mengingatkan tentang persiapan tympanoplasty dan proyek tahun lalu yang akan disiarkan sebuah stasiun televisi malam ini. Maya menepuk dahi, lupa bahwa ia punya janji dengan dokter THT sore tadi. Ia akan membuat janji kembali untuk hari lusa, tapi kemudian ingat bahwa lusa ia bertemu psikiater. Mungkin minggu depanlah, batin Maya.

Siaran TV yang ia cari cuma sisa 15 menit, tapi sudah cukup melempar Maya kembali ke masa lalu. Proyeknya tahun lalu, wajahnya yang ceria setelah menyelam, penelitian gabungan satu lagi bersama Anita dan Bilqis. 

Waktu itu ia memohon-mohon kepada mereka berdua untuk menyelesaikan laporan akhir penelitian, ia ingin segera pulang ke rumah. Maya ingat bagaimana rasanya memiliki orang yang selalu menunggunya di rumah, rasa kangen rumah, merindukan pelukan hangat Rani.

Rumahnya kehilangan sentuhan Rani. Setiap hari memang masih bebas debu, tapi tak ada interaksi di tempat cuci piring, kompor, Maya bahkan tak ingat kapan terakhir kali makan di rumah. Atau kapan ia pulang sebelum tengah malam.

Kini sebelum ia pulang ke rumah, kadang Maya mampir ke restoran cepat saji. Ia makan dan duduk berlama-lama di sana. Meski menghindari kopi dan mengurangi kebiasaan minum tehnya, ia tetap sulit tidur malam hari. 

Kadang Maya jalan-jalan ke tempat-tempat yang ramai di malam hari, kadang ke pasar dini hari, melihat orang-orang berinteraksi. Kagum dengan pedagang yang bisa menjaga kesegaran ikan dan menikmati suara riuh yang seakan menyatu dengan kegaduhan dalam telinganya. Bahkan ia menebak-nebak benda yang dijual sebuah kios pasar yang dilewatinya satu-satu berdasarkan baunya.

Kadang ia menyetir tanpa arah, sambil mendengarkan kompilasi lagu kesayangan Rani. Ia ambil rute terjauh dari kantornya menuju rumah, jika sudah dekat dan lagu belum selesai, ia akan berputar-putar di perkampungannya sampai lagu itu berakhir.

Kadang ia tetap di luar sampai fajar menjelang. Tubuhnya sudah terbiasa kurang tidur, ia temukan kecintaan baru dengan mengamati orang-orang yang berkumpul di malam hari. Ia memiliki kamera yang memadai untuk menangkap keindahannya, namun Maya memilih untuk mengabadikannya dengan kamera yang ada di dalam matanya.




catatan: *If I Die Young dinyanyikan oleh the Band Perry